Oleh:
Muhammad Akbar, S.Pd.
“Eh,
kamu itu cacat, tidak mungkin bisa ikut lomba lari, orang cacat tidak bisa main
ini dan itu, cacat tidak boleh ikut ini dan ikut itu, tidak bisa jadi ini dan
jadi itu, mereka tidak bisa melakukan pekerjaan ini dan pekerjaan itu”. Mungkin
pernyataan-pernyataan yang sifatnya mendiskreditkan dan mendiskriminasikan para
penyandang disabilitas seperti itu umum sekali kita dengar di mana-mana dan acapkali
diucapkan oleh orang-orang yang memiliki bentuk, struktur dan fungsi tubuh yang
umumnya normal dan lebih sempurna dibandingkan penyandang disabilitas. Namun
pernyataan seperti itu adalah pernyataan yang
timbul dari mulut orang-orang yang sebenarnya secara tidak sadar merekalah yang
memiliki disabilitas pola pikir yang logis dan mengalami disabilitas etika.
Mengapa demikian? Karena jika seseorang berfikir bahwa orang yang tidak
memiliki kaki, atau tidak memiliki tangan dan belum sempurna secara fisik serta
mental tidak akan bisa melakukan apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa, maka
seseorang itu adalah orang yang memiliki “cacat analisis logis” dalam otaknya.
Masih
banyak orang-orang yang mengaku (katanya) dirinya normal secara fisik dan
fikiran, namun masih saja menganggap kondisi disabilitas merupakan kondisi yang
nista, rendah, dan tidak terpandang. Bahkan sistem dan struktur sosial
masyarakat secara tidak sadar namun telah mengakar selalu menempatkan posisi orang-orang yang menyandang
disabilitas di posisi yang tersudut dan terpojok bahkan sama sekali tidak
memiiki tempat yang layak untuk mengembangkan potensi diri yang sebenarnya bisa
jadi lebih besar ketimbang manusia normal lainnya. Tidak jarang pula bentuk
diskriminasi dan tindakan yang mendiskreditkan penyandang disabilitas meluncur
baik secara verbal maupun non verbal. Hal ini jelaslah merupakan sebuah
pelanggaran dan kesewenang-wenangan yang secara langsung maupun tak langsung ditujukan
untuk mematikan daya kreativitas dan karakter saudara-saudara yang menyandang
disabilitas untuk dapat mengembangkan kemampuan diri yang besar dalam diri
mereka. Hal tersebut merupakan sebuh pelanggaran dasar terhadap hak asasi
seseorang untuk dapat bisa menikmati kehidupannya meskipun ia seorang difabel.
Hal
yang menyedihkan tidak hanya terjadi pada tingkatan organisasi maupun
kemasyarakatan yang biasa-biasa saja atau dari kalangan masyarakat yang ada di
tingkatan bawah saja, namun pelanggaran dan ketidakadilan juga menimpa kaum
difabel/penyandang disabilitas melalui pelanggaran terhadap sistem dan
perundang-undangan yang ada, diantaranya:
1.
Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak
Persamaan hak setiap warga negara
untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dalam UUD 1945 terdapat
dalam pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini berarti pasal
tersebut menegaskan pentingnya persamaan sosial maupun ekonomi bagi
seluruh warga negara. Namun, pelanggaran terhadap perundang-undangan ini kerap
saja terjadi di negeri ini. Ketika sebagian besar saudara-saudara yang
menyandang disabilitas menggantungkan mimpi mereka setinggi bintang di langit
untuk dapat berdampingan dan hidup dengan penghidupan dan pekerjaan yang layak,
disaat yang bersamaan pula banyak manusia lain yang seolah menjadi “black hole” yang melenyapkan segala
mimpi besar saudara-saudara yang menyandang disabilitas dengan berbagai
peraturan yang sebenarnya masih sangat bisa dilonggarkan dan masih sangat bisa
untuk dilunakkan bagi penyandang disabilitas. Begitu banyak peraturan yang
sifatnya diskriminatif dan mendiskreditkan para penyandang disabilitas.
“Pelamar harus sehat jasmani dan rohani” merupakan salah satu point yang
acapkali menjadi penghalang bagi saudara-saudara yang mengalami disabilitas
untuk menenmpati beberapa posisi pekerjaan yang sebenarnya bisa mereka lakukan
tetapi peraturan itu mengekang dan mengungkung keinginan mereka untuk dapat
bekerja dan hidup layak. Memanglah peraturan tersebut sangat penting dalam
membuat suatu rekrutmen kerja sebuah perusahaan, namun di lain sisi eputusan
biasanya diambil secepat kilat dan sepihak ketika seorang difabel ingin
mendapatka posisi kerja yang diinginkan dan langsung keputusan “tidak’ langsung
diberikan tanpa mempertimbangkan apapun. Padahal bisa jadi penyandang difabel
tersebut bisa melakukan pekerjaan yang dia inginkan. Contohnya jika karena jari
atau tangan yang kurang, maka dianggap tidak sehat secara jasmani dan tidak
bisa menjadi seorang customer service
dalam sebuah perusahaan. Padahal kemampuan komunikasi dan interpersonal seorang
yang kurang tangan atau jarinya belum tentu lebih rendah daripada mereka yang
lengkap fisiknya, namun pada kenyataannya tidak pernah ditemukan bahwa
penyandang disabilitas fisik jarang sekali bahkan dianggap tak layak untu
menempati beberapa bahkan banyak posisi pekerjaan sementara pekerjaan merupakan
salah satu indikator untuk mereka dan manusia lain agar dapat memperbaiki
kehidupannya dan menjadikannya hidup pada taraf kehidupan yang dapat dikatakan
layak.
2.
Hak Mendapatkan Pengajaran
Dalam UUD 1945 persamaan hak setiap
warga negara untuk mendapatkan pengajaran dijamin berdasarkan pasal 31 ayat (1)
yang menetapkan bahwa (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Pelanggaran pada ayat (1)
undang-undang tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi pada saudara-saudara yang
menyandang disabilitas secara fisik maupun mental, namun pelanggaran ini juga
umumnya sangat belum berjalan dengan efektif juga bagi warga negara terutama
anak-anak yang notabene merupakan tunas pembangunan bangsa masa depan. Tetapi
khususnya bagi penyandang disabilitas masalah yang didapati lebih dramatis dan
lebih emosional. Sekolah yang ditujukan untuk menampung anak-anak dan
saudara-saudara yang mengalami disabilitas disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) dan
keberadaannya sungguh sangat tidak terjangkau bagi mereka yang tinggal di
pedesaan. Jarang sekali dijumpai sekolah luar biasa di pedesaan, sehingga hak
sebagai warga negara dan hak sebagai manusia yang memiliki posisi tawar yang
sama untuk dapat mengenyam pendidikan yang layak sangat jauh dari harapan. Para
orangtua yang memiliki anak dengan kondisi disabilitas yang berada di pedesaan
yang menginginkan sekolah bagi buah hatinya yang istimewa harus rela mengubur
mimpi dan angannya dalam-dalam karena ketersediaan sarana dan prasarana untuk
mendukung tumbuh kembang buah hatinya yang mengalami disabilitas sangat
terbatas terutama dalam bidang pendidikan. Selain itu, jargon dan paradigma
yang keliru dan mengakar ke anak cucu selalu saja menghantui para penyandang
disabilitas. Pandangan bahwa sekolah luar biasa adalah sekolah untuk orang
“idiot” masih saja terpatri di benak dan pemikiran masyarakat kita. Sekolah
Luar Biasa seolah menjadi tempat bagi mereka yang “tidak waras” padahal
sebenarnya Sekolah Luar Biasa merupakan tempat bagi mereka yang istimewa.
Mengapa mereka istimewa? Penulis menganggap mereka istimewa karena mereka tidak
pernah mengeluh atas apa yang mereka dapati dan mereka alami, mereka tetap bisa
menjadi diri mereka sendiri dengan segala keterbatasan diri mereka.
Terlalu
banyak bentuk pelanggaran terhadap mereka yang mengalami disabilitas, sangat
sedikit dari saudara-saudara yang menyandang disabilitas bisa menikmati hidup
dengan layak dan pantas. Ketidak adilan dan tindakan diskriminatif seringkali
terjadi pada mereka yang mengalami disabilitas. Ini bukan hanya sekedar
retorika dan teoritik saja namun lebih dari sekedar fakta dan bukti umum bahwa
mereka yang mengalami disabilitas pasti mendapat perlakuan yang kebanyakan
menyakiti hati mereka sebagai manusia yang memiliki fungsi dan posisi tawar
yyang sama sebagai warga negara terlebih sebagai manusia.
Pengalaman
penulis dari sejak belum bisa menganalisis apa-apa bahkan hingga dapat sedikit
menganalisis dengan fakta yang terjadi menunjukkan bahwa hingga saat ini
diskriminasi dan mencabut hak pendidikan kepada mereka yang mengalami
disabilitas masih kerap dan bahkan selalu terjadi. Pengalaman 10 (sepuluh)
tahun yang lalu penulis rasakan dan lihat sendiri. Pengalaman ini bukanlah
pengalaman penulis sebagai seorang disabilitas, karena penulis bukan penyandang
disabilitas namun pengalaman penulis pada saat ikut mengantarkan tetangga
penulis yang berkeinginan keras bisa kursus keterampilan dan bersekolah
layaknya orang-orang normal pada umumnya. Membot (almarhumah), biasa ia
dipanggil, Ia beserta segala kenangan tentang hidupnya dulu menjadi saksi bisu
betapa ketidak adilan sangat terasa mendera kaum difabel. Keinginannya untuk
dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang ia miliki sirna karena disabilitas
mental yang ia alami. Kata-kata “dia tak boleh sekolah di sini, kan dia itu
idiot buk jadi tak bisa” yang Ia dengar bersama Kakaknya seolah menjadi jeruji
yang mengurung segala keinginannya dan seolah menjadi pisau yang memutuskan
harapannya untuk bersekolah. Ia adalah sosok yang istimewa, di saat anak-anak
lainnya banyak yang tidak ingin bersekolah karena memang tak berniat seklah
akibat pergaulan dan lingkungan yang masih kurang terdidik, Ia munculsebagai
seorang yang berkeinginan kuat untuk dapat mengenyam pendidikan dan sekolah
dengan kondisi disabilitas yang disandangnya. Ternyata masalah disabilitas yang
disandangnya membuat ia menjadi sosok anak yang tidak pantas diterima di
sekolah oleh orang-orrang yang normal. Ditambah lagi keberadaan SLB tidak ada.
Meskipun begitu Ia tidak pernah menyalahkan Tuhan dan tak pernah menyalahkan
manusia lain atas kondisi penolakan dan disfungsi hak pendidikannya karena
kondisi difabel yang dimilikinya. Tiap jumat penulis sebagai teman dekat dan
teman bermainnya hanya bisa melihat Ia berdoa dan membaca kitab suci di atas
pusara Ibunya. Dengan kondisi yang demikian saja Ia tidak melupakan ibunya dan
terus mendoakan Ibunya padahal anak-anak normal lain seusianya belum tentu
berbuat demikian, apakah itu bukan hal yang istimewa? Tetapi meskipun demikian
tetap saja saudara-saudara yang mengalami disabilitas menderita disfungsi hak
terutama hak pendidikan mereka serta terus menjadi korban tindakan yang
diskriminatif.
Mungkin
Ia adalah satu dari sekian banyak penyandang disabilitas di Indonesia bahkan di
dunia yang mendapat tindakan diskriminatif dan menderita disfungsi hak
pendidikan. Penulis memandang bahwa hal ini merupakan masalah mindset yang telah lama mengakar dan
tumbuh subur di kalangan masyarakat yang mempercayai bahwa mereka yang difabel adalah
makhluk yang tidak layak dan tak berdaya. Kesombongan dan keangkuhan kita yang
normal harus dihilangkan dan sesegera mungkin mengubah pola pikir yang salah
terhadap mereka yang mengalami disabilitas. Mereka itu istimewa, mereka
merupakan bukti kalau kesempurnaan itu benar-benar ada. Mereka adalah makhluk
Tuhan yang memiliki keistimewaan, lihat saja pada ajang Paralimpic, Para Games,
lihat saja mereka yang menjadi atlet dan menjadi orang-orang sukses meskipun
seorang difabel. Apakah mereka tidak bisa melakukan apa yang dilakukan manusia
normal lainnya? Salah besar jika anggapan kita mengatakan bahsa mereka tidak
bisa melakukan apa yang kita lakukan, mereka bisa bahkan lebih dari yang kita
lakukan dan itulah yang membuat mereka istimewa.
Beberapa
hal yang penulis anggap perlu untuk dibudayakan dan diperbaiki untuk mengubah
paradigma disabilitas diantaranya sebagai berikut:
1.
Membuat peraturan yang mendukung terjaminnya hak pendidikan kaum difabel.
2.
Membentuk pusat kursus dan pusat pelatihan keterampilan bagi kaum difabel.
3.
Membangun Sekolah yang layak untuk menampung hak pendidikan kaum difabel di
seluruh tempat di Indonesia.
4.
Memperbaiki etika sosial dan membenahi pandangan buruk terhadap kaum difabel di
segala tempat.
5.
Membuat “Pusat Layanan Disabilitas” bagi orangtua yang memiliki anak-anak
difabel
agar mereka terlatih untuk membentuk bakat
anak-anaknya
6.
Mendirikan pusat kegiatan olahraga dan
keterampilan tangan bagi kaum difabel di
seluruh Indonesia.
7.
Membuat undang-undang anti penolakan terhadap kaum difabel.
Mereka
istimewa, kondisi disabilitas yang dialami oleh mereka jangan sampai menjadikan
mereka hina dan mencabut hak mereka sehingga mereka mengalami disfungsi hak
terhadap pendidikan mereka. Hentikan dan kampanyekan penghentian tindakan
diskriminasi soial terhadap mereka karena jika mereka diberdayakan bukan
mustahil kalau mereka bisa mengubah lingkungan kehidupan sekitarnya.
No comments:
Post a Comment