Saturday, 21 February 2015

“MEREKA ISTIMEWA” DISABILITAS BUKAN HARUS MENDERITA DISFUNGSI HAK PENDIDIKAN DAN DISKRIMINASI SOSIAL

Oleh: Muhammad Akbar, S.Pd.


“Eh, kamu itu cacat, tidak mungkin bisa ikut lomba lari, orang cacat tidak bisa main ini dan itu, cacat tidak boleh ikut ini dan ikut itu, tidak bisa jadi ini dan jadi itu, mereka tidak bisa melakukan pekerjaan ini dan pekerjaan itu”. Mungkin pernyataan-pernyataan yang sifatnya mendiskreditkan dan mendiskriminasikan para penyandang disabilitas seperti itu umum sekali kita dengar di mana-mana dan acapkali diucapkan oleh orang-orang yang memiliki bentuk, struktur dan fungsi tubuh yang umumnya normal dan lebih sempurna dibandingkan penyandang disabilitas. Namun pernyataan seperti itu adalah pernyataan yang timbul dari mulut orang-orang yang sebenarnya secara tidak sadar merekalah yang memiliki disabilitas pola pikir yang logis dan mengalami disabilitas etika. Mengapa demikian? Karena jika seseorang berfikir bahwa orang yang tidak memiliki kaki, atau tidak memiliki tangan dan belum sempurna secara fisik serta mental tidak akan bisa melakukan apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa, maka seseorang itu adalah orang yang memiliki “cacat analisis logis” dalam otaknya.
Masih banyak orang-orang yang mengaku (katanya) dirinya normal secara fisik dan fikiran, namun masih saja menganggap kondisi disabilitas merupakan kondisi yang nista, rendah, dan tidak terpandang. Bahkan sistem dan struktur sosial masyarakat secara tidak sadar namun telah mengakar  selalu menempatkan posisi orang-orang yang menyandang disabilitas di posisi yang tersudut dan terpojok bahkan sama sekali tidak memiiki tempat yang layak untuk mengembangkan potensi diri yang sebenarnya bisa jadi lebih besar ketimbang manusia normal lainnya. Tidak jarang pula bentuk diskriminasi dan tindakan yang mendiskreditkan penyandang disabilitas meluncur baik secara verbal maupun non verbal. Hal ini jelaslah merupakan sebuah pelanggaran dan kesewenang-wenangan yang secara langsung maupun tak langsung ditujukan untuk mematikan daya kreativitas dan karakter saudara-saudara yang menyandang disabilitas untuk dapat mengembangkan kemampuan diri yang besar dalam diri mereka. Hal tersebut merupakan sebuh pelanggaran dasar terhadap hak asasi seseorang untuk dapat bisa menikmati kehidupannya meskipun ia seorang difabel.
Hal yang menyedihkan tidak hanya terjadi pada tingkatan organisasi maupun kemasyarakatan yang biasa-biasa saja atau dari kalangan masyarakat yang ada di tingkatan bawah saja, namun pelanggaran dan ketidakadilan juga menimpa kaum difabel/penyandang disabilitas melalui pelanggaran terhadap sistem dan perundang-undangan yang ada, diantaranya:


1. Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak 
Persamaan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dalam UUD 1945 terdapat dalam pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini berarti pasal tersebut  menegaskan pentingnya persamaan sosial maupun ekonomi bagi seluruh warga negara. Namun, pelanggaran terhadap perundang-undangan ini kerap saja terjadi di negeri ini. Ketika sebagian besar saudara-saudara yang menyandang disabilitas menggantungkan mimpi mereka setinggi bintang di langit untuk dapat berdampingan dan hidup dengan penghidupan dan pekerjaan yang layak, disaat yang bersamaan pula banyak manusia lain yang seolah menjadi “black hole” yang melenyapkan segala mimpi besar saudara-saudara yang menyandang disabilitas dengan berbagai peraturan yang sebenarnya masih sangat bisa dilonggarkan dan masih sangat bisa untuk dilunakkan bagi penyandang disabilitas. Begitu banyak peraturan yang sifatnya diskriminatif dan mendiskreditkan para penyandang disabilitas. “Pelamar harus sehat jasmani dan rohani” merupakan salah satu point yang acapkali menjadi penghalang bagi saudara-saudara yang mengalami disabilitas untuk menenmpati beberapa posisi pekerjaan yang sebenarnya bisa mereka lakukan tetapi peraturan itu mengekang dan mengungkung keinginan mereka untuk dapat bekerja dan hidup layak. Memanglah peraturan tersebut sangat penting dalam membuat suatu rekrutmen kerja sebuah perusahaan, namun di lain sisi eputusan biasanya diambil secepat kilat dan sepihak ketika seorang difabel ingin mendapatka posisi kerja yang diinginkan dan langsung keputusan “tidak’ langsung diberikan tanpa mempertimbangkan apapun. Padahal bisa jadi penyandang difabel tersebut bisa melakukan pekerjaan yang dia inginkan. Contohnya jika karena jari atau tangan yang kurang, maka dianggap tidak sehat secara jasmani dan tidak bisa menjadi seorang customer service dalam sebuah perusahaan. Padahal kemampuan komunikasi dan interpersonal seorang yang kurang tangan atau jarinya belum tentu lebih rendah daripada mereka yang lengkap fisiknya, namun pada kenyataannya tidak pernah ditemukan bahwa penyandang disabilitas fisik jarang sekali bahkan dianggap tak layak untu menempati beberapa bahkan banyak posisi pekerjaan sementara pekerjaan merupakan salah satu indikator untuk mereka dan manusia lain agar dapat memperbaiki kehidupannya dan menjadikannya hidup pada taraf kehidupan yang dapat dikatakan layak.
2. Hak Mendapatkan Pengajaran 
Dalam UUD 1945 persamaan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pengajaran dijamin berdasarkan pasal 31 ayat (1) yang menetapkan bahwa (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Pelanggaran pada ayat (1) undang-undang tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi pada saudara-saudara yang menyandang disabilitas secara fisik maupun mental, namun pelanggaran ini juga umumnya sangat belum berjalan dengan efektif juga bagi warga negara terutama anak-anak yang notabene merupakan tunas pembangunan bangsa masa depan. Tetapi khususnya bagi penyandang disabilitas masalah yang didapati lebih dramatis dan lebih emosional. Sekolah yang ditujukan untuk menampung anak-anak dan saudara-saudara yang mengalami disabilitas disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) dan keberadaannya sungguh sangat tidak terjangkau bagi mereka yang tinggal di pedesaan. Jarang sekali dijumpai sekolah luar biasa di pedesaan, sehingga hak sebagai warga negara dan hak sebagai manusia yang memiliki posisi tawar yang sama untuk dapat mengenyam pendidikan yang layak sangat jauh dari harapan. Para orangtua yang memiliki anak dengan kondisi disabilitas yang berada di pedesaan yang menginginkan sekolah bagi buah hatinya yang istimewa harus rela mengubur mimpi dan angannya dalam-dalam karena ketersediaan sarana dan prasarana untuk mendukung tumbuh kembang buah hatinya yang mengalami disabilitas sangat terbatas terutama dalam bidang pendidikan. Selain itu, jargon dan paradigma yang keliru dan mengakar ke anak cucu selalu saja menghantui para penyandang disabilitas. Pandangan bahwa sekolah luar biasa adalah sekolah untuk orang “idiot” masih saja terpatri di benak dan pemikiran masyarakat kita. Sekolah Luar Biasa seolah menjadi tempat bagi mereka yang “tidak waras” padahal sebenarnya Sekolah Luar Biasa merupakan tempat bagi mereka yang istimewa. Mengapa mereka istimewa? Penulis menganggap mereka istimewa karena mereka tidak pernah mengeluh atas apa yang mereka dapati dan mereka alami, mereka tetap bisa menjadi diri mereka sendiri dengan segala keterbatasan diri mereka.
Terlalu banyak bentuk pelanggaran terhadap mereka yang mengalami disabilitas, sangat sedikit dari saudara-saudara yang menyandang disabilitas bisa menikmati hidup dengan layak dan pantas. Ketidak adilan dan tindakan diskriminatif seringkali terjadi pada mereka yang mengalami disabilitas. Ini bukan hanya sekedar retorika dan teoritik saja namun lebih dari sekedar fakta dan bukti umum bahwa mereka yang mengalami disabilitas pasti mendapat perlakuan yang kebanyakan menyakiti hati mereka sebagai manusia yang memiliki fungsi dan posisi tawar yyang sama sebagai warga negara terlebih sebagai manusia.
Pengalaman penulis dari sejak belum bisa menganalisis apa-apa bahkan hingga dapat sedikit menganalisis dengan fakta yang terjadi menunjukkan bahwa hingga saat ini diskriminasi dan mencabut hak pendidikan kepada mereka yang mengalami disabilitas masih kerap dan bahkan selalu terjadi. Pengalaman 10 (sepuluh) tahun yang lalu penulis rasakan dan lihat sendiri. Pengalaman ini bukanlah pengalaman penulis sebagai seorang disabilitas, karena penulis bukan penyandang disabilitas namun pengalaman penulis pada saat ikut mengantarkan tetangga penulis yang berkeinginan keras bisa kursus keterampilan dan bersekolah layaknya orang-orang normal pada umumnya. Membot (almarhumah), biasa ia dipanggil, Ia beserta segala kenangan tentang hidupnya dulu menjadi saksi bisu betapa ketidak adilan sangat terasa mendera kaum difabel. Keinginannya untuk dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang ia miliki sirna karena disabilitas mental yang ia alami. Kata-kata “dia tak boleh sekolah di sini, kan dia itu idiot buk jadi tak bisa” yang Ia dengar bersama Kakaknya seolah menjadi jeruji yang mengurung segala keinginannya dan seolah menjadi pisau yang memutuskan harapannya untuk bersekolah. Ia adalah sosok yang istimewa, di saat anak-anak lainnya banyak yang tidak ingin bersekolah karena memang tak berniat seklah akibat pergaulan dan lingkungan yang masih kurang terdidik, Ia munculsebagai seorang yang berkeinginan kuat untuk dapat mengenyam pendidikan dan sekolah dengan kondisi disabilitas yang disandangnya. Ternyata masalah disabilitas yang disandangnya membuat ia menjadi sosok anak yang tidak pantas diterima di sekolah oleh orang-orrang yang normal. Ditambah lagi keberadaan SLB tidak ada. Meskipun begitu Ia tidak pernah menyalahkan Tuhan dan tak pernah menyalahkan manusia lain atas kondisi penolakan dan disfungsi hak pendidikannya karena kondisi difabel yang dimilikinya. Tiap jumat penulis sebagai teman dekat dan teman bermainnya hanya bisa melihat Ia berdoa dan membaca kitab suci di atas pusara Ibunya. Dengan kondisi yang demikian saja Ia tidak melupakan ibunya dan terus mendoakan Ibunya padahal anak-anak normal lain seusianya belum tentu berbuat demikian, apakah itu bukan hal yang istimewa? Tetapi meskipun demikian tetap saja saudara-saudara yang mengalami disabilitas menderita disfungsi hak terutama hak pendidikan mereka serta terus menjadi korban tindakan yang diskriminatif.
Mungkin Ia adalah satu dari sekian banyak penyandang disabilitas di Indonesia bahkan di dunia yang mendapat tindakan diskriminatif dan menderita disfungsi hak pendidikan. Penulis memandang bahwa hal ini merupakan masalah mindset yang telah lama mengakar dan tumbuh subur di kalangan masyarakat yang mempercayai bahwa mereka yang difabel adalah makhluk yang tidak layak dan tak berdaya. Kesombongan dan keangkuhan kita yang normal harus dihilangkan dan sesegera mungkin mengubah pola pikir yang salah terhadap mereka yang mengalami disabilitas. Mereka itu istimewa, mereka merupakan bukti kalau kesempurnaan itu benar-benar ada. Mereka adalah makhluk Tuhan yang memiliki keistimewaan, lihat saja pada ajang Paralimpic, Para Games, lihat saja mereka yang menjadi atlet dan menjadi orang-orang sukses meskipun seorang difabel. Apakah mereka tidak bisa melakukan apa yang dilakukan manusia normal lainnya? Salah besar jika anggapan kita mengatakan bahsa mereka tidak bisa melakukan apa yang kita lakukan, mereka bisa bahkan lebih dari yang kita lakukan dan itulah yang membuat mereka istimewa.
Beberapa hal yang penulis anggap perlu untuk dibudayakan dan diperbaiki untuk mengubah paradigma disabilitas diantaranya sebagai berikut:
1. Membuat peraturan yang mendukung terjaminnya hak pendidikan kaum difabel.
2. Membentuk pusat kursus dan pusat pelatihan keterampilan bagi kaum difabel.
3. Membangun Sekolah yang layak untuk menampung hak pendidikan kaum difabel di
   seluruh tempat di Indonesia.
4. Memperbaiki etika sosial dan membenahi pandangan buruk terhadap kaum difabel di  
   segala tempat.
5. Membuat “Pusat Layanan Disabilitas” bagi orangtua yang memiliki anak-anak difabel   
   agar mereka terlatih untuk membentuk bakat anak-anaknya
6. Mendirikan pusat kegiatan olahraga  dan keterampilan tangan bagi kaum difabel di
    seluruh Indonesia.
7. Membuat undang-undang anti penolakan terhadap kaum difabel.

Mereka istimewa, kondisi disabilitas yang dialami oleh mereka jangan sampai menjadikan mereka hina dan mencabut hak mereka sehingga mereka mengalami disfungsi hak terhadap pendidikan mereka. Hentikan dan kampanyekan penghentian tindakan diskriminasi soial terhadap mereka karena jika mereka diberdayakan bukan mustahil kalau mereka bisa mengubah lingkungan kehidupan sekitarnya.

No comments:

Post a Comment

 SEMINAR DAN SOSIALISASI BUDAYA POSITIF DI SMAN 1 TAMIANG HULU oleh: Muhammad Akbar Sekolah merupakan ruang untuk mempertemukan berbagai jen...