
|
Pernahkah kita menonton film “The Day After Tomorrow”? atau
pernahkah kita menonton sebuah film dokumenter bertajuk “Six Degrees Could Change The World?”
film yang pernah diputar di National
Geographic Channel ini menggambarkan bagaimana dahsyatnya kepunahan makhluk
hidup di planet bumi termasuk manusia jika sampai pemanasan global terus
meningkat seiring terjadinya perubahan iklim secara global. Perilaku buruk
manusia dalam mengelola lingkungan dan menjaga ekosistem adalah penyebab
kehancuran yang terjadi di-
muka
bumi. Kisah fiksi ilmiah yang disajikan dalam film-film Hollywood tersebut bukan tidak mungkin dapat menjadi kenyataan.
Bukan tanpa dasar dan bukti ilmiah untuk dapat membuktikan kalau peristiwa pada
kisah-kisah tersebut dapat menjadi nyata jika melihat kondisi manusia sekarang
yang masih memposisikan lingkungan hidup sebagai prioritas nomor sekian setelah
prioritas gaya hidup yang “destruktif”. Selain dampak klimatis (perubahan
iklim) yang ditimbulkan akibat dari “pemerkosaan” hutan dan lahan hutan secara
brutal, dampak yang tak kalah mengancam eksistensi kehidupan manusia adalah
menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya air akibat laju deforestasi yang
sudah sampai pada tahap gangguan serius terhadap sistem keseimbangan tata air
(hidrologis). Penggundulan hutan (deforestasi) dan penurunan fungsi (degradasi)
hutan yang tak terkendali mengakibatkan penurunan fungsi daya dukung ekologi
hutan sebagai wilayah resapan air yang menjaga stabilitas ketersediaan air di
wilayah sekitar daerah aliran sungai (DAS)
Prof. Irwan (2007) mendeskripsikan bahwa
manusia selalu berusaha mengubah
lingkungan untuk memperoleh keperluannya. Kadang-kadang dalam kegiatan demikian
manusia seolah-olah mengganggu, dan bahkan dapat merusak komponen-komponen
biotik. Manusia adalah heterotrop dan phagotrop yang tumbuh dengan subur dekat
penghujung rantai-rantai makanan yang kompleks. Di Indonesia,
aspek ekosistem kehutanan dan kebutuhan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
cenderung diabaikan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan kewilayahan,
sehingga kebijakan pengelolaan lingkungan menjadi tidak terintegrasi. Kegiatan
penambangan, pembukaan jalan, pembalakan liar, perburuan satwa liar yang
dilindungi, dan lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan menjadi
persoalan klasik yang terus berulang terjadi di negara ini. Praktis dampak
perubahan iklim dan kerusakan lahan yang ditimbulkan akan sampai pada tahap
kritis.
Masalah kehutanan dan implikasinya
terhadap kondisi kelestarian sumberdaya air dalam hal ini daerah aliran sungai
(DAS), seyogyanya mendapat perhatian yang lebih sebab keberadaannya yang sangat
vital untuk mendukung kehidupan di muka bumi terutama manusia. Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, menyebutkan bahwa
penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat
adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah
Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30% dari luas
DAS dengan sebaran proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Aliran
Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas
di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan
(UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). Oleh karena hutan dan sumberdaya
air pada DAS adalah komponen yang sangat penting dalam mendukung eksistensi
kehidupan manusia, maka harus ada penanganan dan beberapa aksi nyata yang
sesegera mungkin dilakukan untuk memperbaiki kondisi kerusakan agar secara
perlahan dapat memberikan dampak yang baik bagi keberlangsungan kehidupan
ekosistem yang menunjang kehidupan manusia. Selain itu, harus ada
langkah-langkah untuk membuat lahan lebih resisten terhadap dampak perubahan.
Untaian Mutiara Hijau Indonesia,
Riwayat dan DAS-mu Kini
Sebagai
negara dengan iklim tropis, Indonesia memiliki hamparan hutan-hutan yang sangat
luas dengan pepohonan dan berbagai macam vegetasi yang hidup di dalamnya.
Untaian-untaian hutan Indonesia yang sambung-menyambung bak mutiara hijau yang
membentang dari timur ke barat. Bak mutiara hijau, ia memberikan nilai yang
sangat berharga bagi kehidupan manusia dan makhluk lain yang ada di Indonesia.
Indonesia mempunyai kekayaan alam berupa hutan tropis yang sangat luas dan
menempati urutan nomor tiga dari segi luasan setelah Brazil dan Republik
Demokratik Kongo. Hutan tropis ini merupakan hutan yang unik dan memiliki
biodiversitas yang sangat tinggi (Kusmana dkk). Sebagian besar hutan-hutan di
Indonesia termasuk dalam Hutan Hujan Tropis, yang merupakan masyarakat hutan
yang kompleks, terdapat pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro
berbeda dengan keadaan sekitarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat
tinggi, dan temperatur lebih rendah. Pohon-pohon kecil berkembang dalam naungan
pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan.
Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi merupakan suatu koleksi yang mahal dan
mempunyai potensi genetik yang besar pula. Hutan merupakan
ekosistem yang memiliki banyak fungsi bagi lingkungan dan makhluk hidup
sekitarnya. Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan
kualitas dan kuantitasnya dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan
ekosistem. Pemanfaatan ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fungsinya. Pengelolaan hutan yang hanya
mempertimbangkan salah satu fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan
(Soemarmo, 2010).


yang
dulu sambung-menyambung sekarang sudah terfragmentasi dan tercerai-berai serta
tengah menghadapi tekanan yang berat. Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia, setidaknya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia
menyusut tiap tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130
juta hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah
habis ditebang. Masalah utama yang mengancam eksistensi hutan di Indonesia
adalah penebangan liar,
alihfungsi lahan, kebakaran hutan,
eksploitasi yang berlebihan, dan pemanfaatan yang tidak lestari. Untaian
mutiara hijau Indonesia sekarang bak perawan di sarang penyamun, ia begitu
“seksi” bagi sebagian besar manusia yang selalu berusaha memenuhi “syahwat
ekonomi” tanpa memperhatikan keberlanjutan dan kelestarian kawasan hutan dan
daerah aliran sungai sebagai penstabil cuaca dan iklim. Disamping itu, masalah
dalam kerusakan hutan adalah minimnya kegiatan positif yang dilakukan oleh para
pelintas jalan untuk menghijaukan kembali lahan yang sudah rusak, minimnya
pembaharuan pada sistem etnisitas untuk merehabilitasi hutan yang mulai menurun
kualitas dan kuantitasnya.
Sebagai sebuah ekosistem yang memiliki
tutupan vegetasi beraneka ragam, hutan tidak hanya berfungsi sebagai arbsorber
polusi udara, lebih dari itu keragaman vegetasi hutan berfungsi sebagai pengatur tata air pada sebuah
ekosistem hidrologi yang dinamakan dengan kawasan daerah aliran sungai (DAS).
Tingkat kerusakan yang terjadi pada hutan sebagai tutupan vegetasi alami akan
berdampak pada kerusakan sistem tata air di daerah aliran sungai itu sendiri. Siregar
(2009) menyatakan keberlanjutan sistem hidrologi yang menopang kehidupan
manusia sangat bergantung pada kelestarian tutupan vegetasi pada sub daerah
aliran sungai (sub DAS), ketidakarifan dalam pengelolaan sub DAS akan berbuah
bencana yang merugikan manusia.
Tingkat
kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen
dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan
air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran
tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai
dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada
kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata
laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun. Sedangkan
lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30.2 juta ha
(terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari
daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang
dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus
hidrologi menjadi menurun (Kementerian Kehutanan, 2009).
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan
bagian tak terpisahkan dari ekosistem hutan. Ancaman terhadap DAS yang ditandai
dengan kerusakan tutupan vegetasi (daya dukung hutan) praktis akan mengancam
sistem hidrologi (tata guna air) yang dibutuhkan masyarakat, baik secara
kuantitas maupun kualitas. Karena itulah DAS selalu menjadi sasaran kunci dari
setiap kegiatan konservasi. DAS umumnya terdiri dari beberapa sistem sub
DAS yang menggambarkan sebuah kawasan
daerah tangkapan air dari suatu jaringan sungai. Keberadaan sebuah sub DAS
sangat penting bagi manusia maupun kehidupan liar yang mendiami ekosistem hutan
alami, terutama menyangkut penyediaan air. Minimnya pengetahuan dan minimnya
partisipasi terhadap perbaikan hutan sebagai penyedia tutupan vegetasi
memberikan akses kerusakan terhadap DAS. Kesalahkelolaan DAS akibat
kesalahkelolaan hutan berefek langsung pada ketidakmampuan sungai menampung air
yang berasal dari tingginya curah hujan saat musim penghujan datang, sementara
pada musim kemarau malah sungai tak mampu menyuplai ketersediaan air karena
kekeringan. Sebuah kondisi ironis dari negara yang dulu berperan sebagai paru-paru
dunia, kini menghadapi peliknya masalah deforestasi dan degradasi lahan serta
kemunduran kualitas dan kuantitas daerah aliran sungai (DAS).
Ketapel Biji: Model
Etnoekologi “Reboisasi ala Rangkong” untuk Hutan dan DAS
Dalam
mengatasi kerusakan lahan hutan dan daerah aliran sungai dewasa ini, banyak
sekali solusi yang ditawarkan guna meminimalisir dampak sistemik yang akan
ditimbulkan oleh kesalahkelolaan lahan hutan dan DAS di Indonesia. Manusia
hidup di dunia ini akan melakukan interaksi dengan alam secara kompleks dan
rumit. Kompleksitas hubungan antara manusia dengan lingkungan tidak bisa
dilepaskan dari unsur biotik dan abiotik yang mempengaruhinya. Meski zaman
telah berubah sebagai bentuk modernisasi kebudayaan, namun pada era ini solusi
yang bersifat etnisitas dan kekhasan daerah masih memiliki posisi tawar yang
tinggi guna menekan terjadinya kerusakan yang menjadi-jadi di kawasan hutan dan
daerah aliran sungai.

Diantara burung penyebar biji, burung
berbadan besar dengan paruh yang besar ini adalah spesies burung penyebar biji
paling efektif, karena mampu menyebarkan biji-biji berukuran besar dengan
daerah jelajah yang jauhnya mencapai puluhan kilometer. Bayangkan jika jasa lingkungan
ini dilakukan oleh manusia? Berapa luas lahan yang dapat diperbaiki secara
alami tanpa harus merusak tatanan kawasan ekosistem yang ada di dalamnya.
Meningkatnya kuantitas penduduk
Indonesia sebagai bonus demografi praktis akan membuat tingkat kebutuhan
semakin meningkat, akses terhadap peningkatan kebutuhan tersebut secara
otomatis akan memberikan tekanan terhadap kebutuhan lahan yang secara langsung
maupun tak langsung akan menggeser sedikit demi sedikit keberadaan hutan dan
eksistensi ekosistem sekitarnya. Namun, sebagai suatu kesatuan masyarakat yang
terbentuk dari tatanan nilai agama dan norma adat istiadat yang berlaku,
setidaknya memiliki andil dalam menentukan arah bertindak positif dan konstruktif
bagi perbaikan lingkungan dalam sistem yang dikenal sebagai etnoekologi, keterkaitan
ciri khas adat istiadat suatu masyarakat akan memiliki dampak positif terhadap
eksistensi ekologi yang ada di sekitarnya.

Etnoekologi
sebagai ilmu yang menjembatani antara kepentingan manusia sebagai makhluk yang
berbudaya dan ekologi sebagai wadah ekosistem yang menaungi kehidupan sudah
seyogyanya mengalami elaborasi nilai yang lebih dinamis meskipun masih bersifat
tradisional karena pada hakikatnya sistem dan cara-cara yang tradisional
terkadang menjadi sarana yang paling ampuh untuk memperbaiki kondisi yang telah
rusak. Minimnya perhatian terhadap kerusakan hutan dan daerah aliran sungai
(DAS) hendaknya diatasi dengan cara-cara yang sifatnya masih melestarikan adat
dan budaya nasional yang mencirikan identitas nasional. Ketapel adalah alat
yang sangat mudah dipakai dan sangat familiar bagi seluruh lapisan usia,
disamping melestarikan nilai budaya bangsa dan permainan nasional, ketapel
dalam era ini juga dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan konservasi
wilayah hutan.
Pada
wilayah-wilayah ekowisata (ecotourism
area) biasanya pengunjung hanya disajikan indahnya kawasan hutan-hutan di
Indonesia, namun tidak disuguhkan bagaimana rusaknya hutan tersebut. Seharusnya keberadaan para
wisatawan tidak hanya sebagai penikmat alam, namun juga dijadikan sebagai objek
pelestari dengan cara menyediakan ketapel dengan peluru biji (biji durian,
cempedak, nangka, karet, dan sebagainya). Pos ketapel biji pada setiap satuan
kawasan hutan harus dibuat, meski dengan cara sederhana, setidaknya memiliki
kontribusi positif terhadap pelestarian kawasan hutan dan DAS. Dengan
melontarkan biji-biji tersebut ke wilayah yang membutuhkan reboisasi, maka akan
membantu proses reboisasi pada lahan yang kritis. Dalam jangka waktu beberapa
bulan atau tahun, biji yang dilontarkan tersebut akan tumbuh menjadi benih
pohon baru dan akan membentuk tutupan vegetasi baru yang berfungsi sebagai
penghijau dan pengendali daerah resapan air. Sama halnya seperti apa yang
dilakukan oleh burung rangkong/enggang yang menyebarkan biji ke wilayah hutan,
manusia juga dapat memberikan jasa lingkungan yang sama dengan metode dan media
yang berbeda. Aplikasi etnoekologi model baru ini patut diterapkan di seluruh
penjuru nusantara, agar wilayah hutan yang menjadi penyangga sistem tata air
pada daerah aliran sungai (DAS) dapat terjaga dengan baik dan mempu memberikan
fungsi terbaik bagi kehidupan manusia dan lingkungan hidup di Indonesia. Mari
kita budayakan ketapel biji untuk kegiatan konservasi.
Konservasi Multi
Partisipasi dalam Pendekatan Pendidikan
Kegiatan
konservasi pada dasarnya bukan hanya domain pemerintah atau domain segelintir
orang yang peduli pada kawasan hutan sebagai penyangga ketersediaan air di
daerah aliran sungai. Kegiatan konservasi pada dasarnya harus dilakukan oleh
seluruh elemen masyarakat karena jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan
ataupun jasa langsung yang diberikan oleh daerah aliran sungai dalam menyuplai
ketersediaan air bagi kehidupan hakikatnya dinikmati oleh seluruh penduduk
Indonesia. Oleh karenanya masalah konservasi bukan hanya masalah sepihak namun
masalah bersama. Sistem agama dan adat harus diperkuat untuk mendukung kegiatan
konservasi sebagai ujung tombak pelestarian kawasan hutan dan daerah aliran
sungai guna menjaga kelestarian sumberdaya di masa yang akan datang untuk
generasi mendatang.
Memperkuat sistem etnoekologi melalui aplikasi
nyata dalam tindakan konservasi praktis akan membutuhkan kerjasama seluruh
pihak. Dalam hal ini masyarakat adat dan pemerintah beserta pihak swasta harus melakukan
konservasi terintegrasi guna mengakselerasi perbaikan kawasan DAS dan hutan.
Pemerintah sebagai pihak yang memfasilitasi harus mampu mengarahkan masyarakat
agar menggunakan kearifan lokal (local
wisdom) dalam menanggulangi masalah
kerusakan hutan dan DAS. Selain itu, memfasilitasi terbentuknya laskar
konservasi melalui pendekatan pendidikan harus sesegera mungkin diaplikasikan
agar terbentuk sumberdaya manusia yang peduli terhadap eksistensi kawasan yang
terancam.
Menanamkan rasa cinta konservasi
merupakan pendekatan yang harus dilakukan dengan cepat, salah satu pendekatan
yang sangat baik adalah melalui pendidikan. Penanaman rasa cinta konservasi
harus ditanamkan kepada generasi penerus bangsa. Dalam hal ini harus ada
kerjasama inter-institusi antara Kementerian Kehutanan, Kementrian Lingkungan
Hidup, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diaplikasikan ke daerah-daerah
di tanah air. Pelaksanaan pada tingkat sekolah dengan tenaga pendidik yang
berwawasan konservasi dapat membentuk tim konservasi sekolah dan menanamkan
rasa cinta konservasi sejak dini.
Kerjasama
Multi Partisipasi dan Inter-institusi Pemerintah dalam Mengaplikasikan
Pendidikan Cinta Konservasi
![]() |
PELATIHAN
Kerangka kerja pembentukan tenaga pendidik
berwawasan konservasi untuk penerapan di sekolah Indonesia (Oleh Muhammad
Akbar).
Jika seluruh kegiatan pelestarian dan
konservasi dengan perwujudan etnoekologi model baru ini dapat berjalan dengan
baik seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bukan hal yang mustahil jika
dalam waktu beberapa tahun mendatang etnoekologi yang diwujudkan dalam aplikasi
sederhana ini akan membudaya. Jika ini dibudayakan, maka jasa lingkungan yang
diberikan akan sangat besar dan berharga bagi konservasi lahan hutan dan DAS
yang lebih resisten terhadap perubahan. Disamping itu, hukum juga tetap menjadi
senjata ampuh untuk memberikan efek jera
terhadap oknum-oknum yang merusak tatanan kelestarian ekosistem hutan beserta
daerah aliran sungainya, baik itu penegakan hukum agama, negara dan hukum adat.
Penutup
Sebagai
wilayah dengan kepemilikan hutan nomor 3 terluas di dunia, secara langsung akan
memberikan dampak positif termasuk dalam ketersediaan sumberdaya air dari
kawasan daerah aliran sungai yang ada di wilayah ekosistem hutan. Namun, bonus
demografi yang besar mengakibatkan tekanan terhadap ekosistem semakin tinggi
sehingga membuat laju deforestasi juga semakin tinggi. Praktis hal ini akan
mengganggu keseimbangan tatanan air yang ada pada wilayah daerah aliran sungai
(DAS) yang terkonsentrasi penyerapannya di wilayah ekosistem hutan. Salah satu
solusi yang ditawarkan guna meminimalisir kerusakan hutan yang menjadi
penyangga kawasan resapan air pada daerah aliran sungai (DAS) adalah dengan
pengembangan etnoekologi model baru, yakni “ketapel biji” dan konservasi multi
partisipasi dengan pendekatan pendidikan. Metode ketapel biji adalah sebuah
metode mempertahankan salah satu permainan tradisional secara nasional dengan
penggunaannya yang lebih mengarah ke jasa lingkungan, yakni melontarkan biji
seperti durian, nangka, cempedak, dan karet untuk reboisasi seperti penyebaran
biji yang dilakukan oleh spesies rangkong/enggang. Sementara konservasi
multipartisipasi adalah model konservasi yang mewajibkan seluruh elemen
terlibat dalam perbaikan kawasan hutan dan DAS secara bersama. Kemudian
pendekatan pendidikan dilakukan untuk menanaman cinta konservasi sejak dini
sebagai bekal konservasi dan membentuk laskar konservasi yang bertanggungjawab
dalam pelestarian kawasan ekosistem di Indonesia kelak.
Daftar
Pustaka
Departemen
Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Kerangka
Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia, Amanah Instruksi Presiden
No. 5 Tahun 2008 Tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009. Jakarta:
Gedung Manggala Wanabhakti.
Irwan,
Zoer’aini Djamal. 2007. Prinsip-Prinsip
Ekologi: Ekosistem, Lingkungan, dan Pelestariannya. Jakarta: Bumi Aksara.
Kusmana, dkk. 2010. Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan daam Pemulihan Kualitas Lingkungan.
Medan: Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dan Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian
USU.
Siregar,
Abadi, dkk. 2009. Hutan Batang Toru Blok
Barat: Serpihan Mutiara Hijau di Bumi Sumatera. OSCP dan USAID Indonesia:
Konsorsium Pusaka Indonesia.
Soemarmo, 2010. Analisis
Risiko Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2007 Tentang Sumberdaya
Air.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
___________________________________________________________________________
*)Penulis adalah Guru Pada Program Sarjana
Mendidik Di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) Angkatan III,
penduduk Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
No comments:
Post a Comment