Oleh: Muhammad Akbar
Pernah
menonton film The Day After Tomorrow?, Six Degrees Could Change The World?, atau film 2012?. Film-film
tersebut merupakan beberapa film fiksi ilmiah garapan Hollywood yang menggambarkan betapa bumi ini seketika dapat hancur
dengan dahsyat dan mengakibatkan kepunahan makhluk hidup di bumi termasuk di
dalamnya manusia dikarenakan oleh semakin memburuknya kondisi lingkungan hidup
dan terus meningkatnya suhu permukaan bumi yang berkorelasi negatif terhadap
“kesehatan” bumi.
Namun,
sangat tidak menutup kemungkinan jikalau kisah fiksi itu akan jadi sebuah
kenyataan. Perilaku manusia yang selalu mengabaikan etika lingkungan dalam
bertindak acapkali menimbulkan masalah tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga
bagi manusia itu sendiri. Pengelolaan yang buruk terhadap lingkungan dan
ekosistem adalah penyebab pemanasan global yang mengancam kehidupan di muka
bumi. Deforestasi, dan degradasi serta aksi-aksi illegal yang semakin
menjadi-jadi terhadap hutan dan isinya menyebabkan tingginya laju penurunan
dayadukung ekologi dan menimbulkan ketidakseimbangan kehidupan dalam tatanan
rantai makanan. Tiap-tiap hutan dan isinya yang ada di Indonesia menghadapi
ancaman yang sangat serius dan nyata termasuk Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL) yang berada di wilayah Aceh dan Sumatera Utara.

|
Taman Nasional Gunung Leuser adalan
Kawasan Taman Nasional seluas 1.094.692
Hektar yang secara administrasi pemerintahan terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara yang
telah ditetapkan sebagai salah satu situs warisan dunia (World Heritage) oleh UNESCO
sebagai
Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera pada tahun 2004. Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL) berfungsi utama sebagai sistem penyangga kehidupan dengan fokus
pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem Leuser yang unik dan
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (Wikipedia.com). TNGL dihuni oleh berbagai jenis mamalia, burung,
reptil, amphibi, dan hewan avertebrata. Di kawasan ini terdapat 380 jenis
burung dan 350 diantaranya merupakan spesies yang tinggal di Leuser. Leuser
juga menjadi rumah bagi 36 dari 50 jenis spesies burung egara ‘Sundaland”. Hampir
65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia kecil dan besar ada di
Leuser. Ekosistem Leuser juga merupakan rumah bagi spesies yang terancam punah
seperti Orang Utan Sumatera (Pongo Abelli),
Harimau Sumatera (Panthera Tigris
Sumaterae), badak sumatera (Dicerorhinus
Sumatranensis), Tapir (Tapirus
Indicus), gajah sumatera (Elephas
Maximus Sumatranus), Owa (Hylobathes
Lar), kera (Presbytis Thomassi),
dan berbagai primata lainnya. Kawasan TNGL juga terdapat lebih dari 4000 jenis
flora. Tiga dari 15 jenis tumbuhan parasit Rafflessia terdapat di Leuser
(Ikhsan, 2009).
TNGL, Bagai Perawan
Dalam Sarang Penyamun
Seperti halnya kebanyakan hutan alam lainnya di
Indonesia, keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser telah menghadapi berbagai masalah yang serius
sejak beberapa dekade lalu. Keterancaman akan kepunahan ekosistem dan habitat
terus menghantui kawasan yang dihuni oleh berbagai spesies flora dan fauna
dunia ini. Taman Nasional yang seharusnya menjadi kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi ini nyatanya sangat menghadapi depressi yang berat
akibat tidakan-tindakan yang destruktif oleh sekumpulan manusia yang serakah
dan tamak akan kekayaan dunia. Mungkin dapat
dibayangkan bagaimana seorang perawan tinggal dikelilingi oleh sekumpulan
penyamun yang lapar dan haus akan kepentingan nafsu birahinya?. Pastinya ia
akan menjadi korban perlakuan yang tidak menyenangkan. Mungkin begitulah
analogi yang pantas untuk menggambarkan kebrutalan yang dilakukan berbagai
pihak terhadap kelestarian Taman Nasional Gunung Leuser. Leuser bagaikan
seorang “perawan” yang diperkosa” oleh segerombolan penyamun. Illegal loging maupun legal logging berkedok HPH,
pembukaan lahan, perburuan liar dan
kegiatan merugikan lainnya terus dilakukan demi kepentingan pribadi yang
menimbulkan konflik berkepanjangan antara alam dan manusia.
Kerusakan
hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam lima tahun terakhir mencapai 36
ribu hektare (Ha), itu artinya per tahun mengalami kerusakan 7.200 Ha atau
setara dengan 8.700 kali luas lapangan bola kaki. Bila dipersentasekan, maka
kerusakan hutan di KEL selama lima tahun terakhir sebesar 1,8 persen dari luas
keseluruhan atau rata-rata 0,36% mengalami deforestasi (hilangnya tutupan hutan
secara permanen maupun sementara). BPKEL melalui penelitian menggunakan
interpretasi penginderaan jauh, yaitu interprestasi citra satelit, yakni LANDSAT (USGS/NASA) tahun
2005-2009 menunjukkan pada awal 2005 luas tutupan hutan di KEL 1.982.000 Ha dan
akhir 2009 mengalami deforestasi, sehingga luasnya menjadi 1.946.000 Ha (gobloggeris.blogspot.com). Dapat
dibayangkan betapa terancamnya TNGL sebagai kawasan penyangga kehidupan di
Sumatera. Tidak hanya akan menimbulkan kiamat bagi satwa langka yang bernaung
di dalamnya tapi juga akan mengancam eksistensi manusia yang mengambil manfaat
lingkungannya.
Hamparan
Mutiara Hijau, Rumah Satwa yang Menanti Gagasan Konservasi
Pernahkan
kita melihat korban kecelakaan yang bagian tubuhnya terlepas salah satu? Atau
pernahkah kita melihat korban penikaman atau tebasan senjata tajam? Pernahkan
kita melihat korban penganiayaan dan kekerasan yang sadis? Atau pernahkah kita
membayangkan seorang ayah atau ibu dibunuh di depan mata anaknya?. Pasti yang
ada dibenak kita adalah rasa sakit dan jeritan yang tidak dapat terbayangkan.
Jikalau kita ada dihadapan orang yang mengalami hal seperti itu, pasti kita
akan mendengarkan jerit rintihannya dan satu kata yang sangat penting yaitu
“pertolongan”. Pernahkah kita bayangkan jika pohon dan hewan bisa bicara?
Pernahkah kita membayangkan bagaimana jeritan hewan dan tumbuhan meminta tolong
saat mesin-mesin pemotong kayu dan senjata-senjata pemburu menghentikan detak
kehidupan mereka di muka bumi?. Kembalikan itu pada hati nurani kita sebagai
makhluk yang tamak dan tidak pernah berterima kasih kepada kedua makhluk Allah
swt tersebut. Hewan dan tumbuhan adalah salah satu bagian terpenting dalam tatanan
keseimbangan kehidupan dan kita patut berterima kasih pada keduanya, tetapi
ternyata perlakuan kita sangat antiklimaks. Kitalah yang memulai aksi-aksi
penghancuran, kita sebenarnya merupakan asselerator yang mengakselerasi
datangnya bencana dan tragedi di muka bumi.
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) harus segera mendapatkan “perawatan
medis” dari kita manusia yang bergantung pada manfaat lingkungan yang
ditimbulkannya. Perawatan medis itu adalah berbagai aksi konservasi yang sangat
dibutuhkan sebagai upaya pengembalian kelestarian kawasan Situs Warisan Dunia
tersebut. Konservasi yang bertujuan untuk mengembalikan untaian mutiara hijau
Sumatera yang sudah tersegmentasi akibat ulah manusia dan mengembalikan
kelayakan hidup bagi berbagai hewan atau satwa yang hidup di dalamnya.
Menggagas Rencana Dan
Aksi Konservasi
Memulihkan kembali Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL) adalah tanggung jawab kita semua sebagai manusia yang masih memerlukan
manfaat langsung dan tidak langsung dari keberadaan Taman nasional Gunung
Leuser yang menguntai bak mutiara hijau di hamparan daratan Sumatera Utara dan
Aceh. Menggagas konservasi di kawasan TNGL merupakan sebuah kewajiban seperti
penetapan status aktifitas gunung berapi, penetapan status konservasi di
kawasan TNGL harus diprioritaskan pada level “segera”.
Konservasi seperti pelestarian satwa dengan cara
insitu dan eksitu bukanlah lagi hal yang baru untuk kegiatan konservasi
dibeberapa wilayah TNGL, seperti penangkaran orangutan di Bukit Lawang,
penangkaran Gajah di Tangkahan, Aceh, dan penangkaran beberapa satwa liar di
wilayah lain dalam kawasan TNGL. Melakukan reboisasi juga bukanlah hal baru
dalam kegiatan konservasi. Namun cara dalam melakukan hal-hal tersebut yang
harus diperbaharui, caranya harus lebih bersifat persuasif dan atraktif dengan
pengelolaan yang berbasis partisipatif dan kolaboratif. Beberapa hal yang dapat
dilakukan terkait konservasi kawasan TNGL adalah sebagai berikut:
1.
Reboisasi sistem “Tanam Pakan”
Reboisasi yang selama ini dikenal cenderung kaku dan
stagnan. Reboisasi yang selama ini dilakukan hanya memihak pada satu sisi
pelestarian, yakni penghijauan dan belum memihak pada eksistensi satwa yang
tinggal dikawasan reboisasi tersebut. Reboisasi yang selama ini dilaksanakan
kebanyakan menanam jenis pohon-pohon keras seperti cemara, pinus, akasia,
mahoni, dan tanaman menjulang lainnya. Harus ada satu jenis reboisasi yang
mampu mengakomodir dua kepentingan kelestarian habitat dan ekosistem, yakni reboisasi sistem “tanam
pakan”. Reboisasi ini adalah reboisasi yang tidak hanya bertujuan sebagai
fungsi penghijauan namun juga memiliki fungsi penyediaan makanan bagi satwa
herbivora terancam punah. Beberapa hewan herbivora terancam adalah Gajah,
badak, burung, dan orang utan. Jenis makanan mereka seperti badak yang memakan
kulit kayu, kedondong hutan, mangga hutan, gajah yang memakan daun kelapa, dan
jenis-jenis perdu, orang utan yang memakan biji-bijian dan buah-buahan, begitu
juga dengan kera. Reboisasi yang ditujukan menanam pohon “pakan’ satwa tersebut
harus menjadi prioritas karena proses insitu dan pelepasliaran tidak akan
berjalan lancar jika tidak ada dayadukung lingkungan yang memadai dalam
penyediaan makanannya.
2.
Membuat Kegiatan “Ketapel Biji”
Mungkin agak sedikit aneh bagi telinga orang-orang
yang mendengarnya. Tetapi aksi yang tak terpikirkan ini akan sangat bermanfaat,
sederhana tetapi berdampak nyata. Kegiatan ini adalah kegiatan yang sangat
menguntungkan tidak saja bagi pelestarian TNGL tapi juga mendorong kegiatan
olahraga. Ketapel biji adalah kegiatan memanah biji (biji durian, biji nangka,
biji cempedak, rambutan, dan bii yang berpotensi tumbuh sebagai pohon)
menggunakan ketapel ke arah hutan kawasan TNGL. Jika kegiatan seru ini
berlangsung, ia dapat melibatkan semua kalangan usia, terlebih lagi anak-anak
yang dipersiapkan sebagai “laskar konservasi”, selain sebagai sarana bermain
anak-anak, kegiatan ketapel biji ini akan memberi dampak penghijauan bagi TNGL,
dalam beberapa tahun biji yang dilontarkan dari ketapel menuju ke pedalam hutan
akan tumbuh sebagi pohon keras yang tidak hanya berfungsi sebagai penghijau
hutan dan absorber/penyerap air tapi juga bermanfaat bagi makanan hewan yang
ada di dalamnya.
3.
Menggandeng Pemuka Agama, Menghilangkan Mitologi Obat Pada Tubuh Satwa Langka
Masalah yang hingga kini menghantui eksistensi hewan
langka dan terancam punah di kawasan TNGL adalah masih berkembangnya sikap dan
ketradisionilan negatif yang merusak. Kepercayaan masyarakat atas kandungan
beberapa bagian tubuh hewan langka sebagai obat berbagai penyakit masih saja
ada. Penanaman logika kepada masyarakat harus disegerakan dengan menggandeng
pemuka agama dan ahli medis terkait untuk mengurangi dan menghilangkan
mitologi-mitologi yang mengancam keberadaan hewan langka di sekitar Taman
Nasional Gunung Leuser.
4. Menetapkan “Cinta Konservasi” sebagai Muatan
Lokal Sekolah (Kerjasama Antar
Institusi)
Memelihara Keberadaan Taman Nasional sebagai situs
warisan dunia sangatlah penting. Mengingat
sebagai kawasan penyangga kehidupan dan stabilisasi ekosistem, keberadaan TNGL
harus segera dilestarikan dalam jangka waktu tak terhingga. Menanamkan rasa
cinta konservasi merupakan pendekatan yang harus dilakukan dengan cepat, salah
satu pendekatan yang sangat baik adalah melalui pendidikan. Penanaman rasa cinta
konservasi harus ditanamkan kepada generasi penerus bangsa. Dalam hal ini harus
ada kerjasama inter-institusi antara Kementerian Kehutanan, Kementrian
Lingkungan Hidup, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diaplikasikan
ke daerah Aceh dan Sumatera Utara. Pelaksanaan pada tingkat sekolah dengan
tenaga pendidik yang berwawasan konservasi dapat membentuk tim konservasi
sekolah dan menanamkan rasa cinta konservasi sejak dini.
KERJASMA INTERINSTITUSI
PEMERINTAH DALAM MENGAPLIKASIKAN PENDIDIKAN CINTA KONSERVASI DI WILAYAH TNGL
![]() |
PELATIHAN
Kerangka kerja pembentukan tenaga pendidik
berwawasan konservasi untuk penerapan di sekolah sekitar TNGL bahkan Indonesia
(Oleh Muhammad Akbar).
SUMBER
DATA RUJUKAN (REFERENSI)
Ikhsan,
dkk. 2009. Meretas Jalan Mewujudkan Desa
Konservasi. Medan: Konsorsium Pusaka Indonesia.
Mangunjaya,
Fachrudin M. 2005. Konservasi Alam Dalam
Ilsam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
No comments:
Post a Comment