Saturday, 21 February 2015

JERIT RIMBA ALAM LEUSER (Mutiara Hijau Sumatera, Rumah Satwa yang Menanti Gagasan Konservasi)

Oleh: Muhammad Akbar

Pernah menonton film The Day After Tomorrow?, Six Degrees Could Change The World?, atau film 2012?. Film-film tersebut merupakan beberapa film fiksi ilmiah garapan Hollywood yang menggambarkan betapa bumi ini seketika dapat hancur dengan dahsyat dan mengakibatkan kepunahan makhluk hidup di bumi termasuk di dalamnya manusia dikarenakan oleh semakin memburuknya kondisi lingkungan hidup dan terus meningkatnya suhu permukaan bumi yang berkorelasi negatif terhadap “kesehatan” bumi.
Namun, sangat tidak menutup kemungkinan jikalau kisah fiksi itu akan jadi sebuah kenyataan. Perilaku manusia yang selalu mengabaikan etika lingkungan dalam bertindak acapkali menimbulkan masalah tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi manusia itu sendiri. Pengelolaan yang buruk terhadap lingkungan dan ekosistem adalah penyebab pemanasan global yang mengancam kehidupan di muka bumi. Deforestasi, dan degradasi serta aksi-aksi illegal yang semakin menjadi-jadi terhadap hutan dan isinya menyebabkan tingginya laju penurunan dayadukung ekologi dan menimbulkan ketidakseimbangan kehidupan dalam tatanan rantai makanan. Tiap-tiap hutan dan isinya yang ada di Indonesia menghadapi ancaman yang sangat serius dan nyata termasuk Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang berada di wilayah Aceh dan Sumatera Utara.
MAP-TNGLSekilas Mengenai TNGL dan Kekayaan Biodiversitasnya
Sumber Gambar: google.com
 
Taman Nasional Gunung Leuser adalan Kawasan Taman Nasional seluas 1.094.692 Hektar yang secara administrasi pemerintahan terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara yang telah ditetapkan sebagai salah satu situs warisan dunia (World Heritage) oleh UNESCO

sebagai Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera pada tahun 2004. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berfungsi utama sebagai sistem penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem Leuser yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (Wikipedia.com). TNGL dihuni oleh berbagai jenis mamalia, burung, reptil, amphibi, dan hewan avertebrata. Di kawasan ini terdapat 380 jenis burung dan 350 diantaranya merupakan spesies yang tinggal di Leuser. Leuser juga menjadi rumah bagi 36 dari 50 jenis spesies burung egara ‘Sundaland”. Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia kecil dan besar ada di Leuser. Ekosistem Leuser juga merupakan rumah bagi spesies yang terancam punah seperti Orang Utan Sumatera (Pongo Abelli), Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumaterae), badak sumatera (Dicerorhinus Sumatranensis), Tapir (Tapirus Indicus), gajah sumatera (Elephas Maximus Sumatranus), Owa (Hylobathes Lar), kera (Presbytis Thomassi), dan berbagai primata lainnya. Kawasan TNGL juga terdapat lebih dari 4000 jenis flora. Tiga dari 15 jenis tumbuhan parasit Rafflessia terdapat di Leuser (Ikhsan, 2009).
TNGL, Bagai Perawan Dalam Sarang Penyamun
Seperti halnya kebanyakan hutan alam lainnya di Indonesia, keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser  telah menghadapi berbagai masalah yang serius sejak beberapa dekade lalu. Keterancaman akan kepunahan ekosistem dan habitat terus menghantui kawasan yang dihuni oleh berbagai spesies flora dan fauna dunia ini. Taman Nasional yang seharusnya menjadi kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi ini nyatanya sangat menghadapi depressi yang berat akibat tidakan-tindakan yang destruktif oleh sekumpulan manusia yang serakah dan tamak akan kekayaan dunia. Mungkin dapat dibayangkan bagaimana seorang perawan tinggal dikelilingi oleh sekumpulan penyamun yang lapar dan haus akan kepentingan nafsu birahinya?. Pastinya ia akan menjadi korban perlakuan yang tidak menyenangkan. Mungkin begitulah analogi yang pantas untuk menggambarkan kebrutalan yang dilakukan berbagai pihak terhadap kelestarian Taman Nasional Gunung Leuser. Leuser bagaikan seorang “perawan” yang diperkosa” oleh segerombolan penyamun. Illegal loging maupun legal logging berkedok HPH, pembukaan lahan, perburuan liar dan kegiatan merugikan lainnya terus dilakukan demi kepentingan pribadi yang menimbulkan konflik berkepanjangan antara alam dan manusia.
Kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam lima tahun terakhir mencapai 36 ribu hektare (Ha), itu artinya per tahun mengalami kerusakan 7.200 Ha atau setara dengan 8.700 kali luas lapangan bola kaki. Bila dipersentasekan, maka kerusakan hutan di KEL selama lima tahun terakhir sebesar 1,8 persen dari luas keseluruhan atau rata-rata 0,36% mengalami deforestasi (hilangnya tutupan hutan secara permanen maupun sementara). BPKEL melalui penelitian menggunakan interpretasi penginderaan jauh, yaitu interprestasi citra satelit, yakni LANDSAT (USGS/NASA) tahun 2005-2009 menunjukkan pada awal 2005 luas tutupan hutan di KEL 1.982.000 Ha dan akhir 2009 mengalami deforestasi, sehingga luasnya menjadi 1.946.000 Ha (gobloggeris.blogspot.com). Dapat dibayangkan betapa terancamnya TNGL sebagai kawasan penyangga kehidupan di Sumatera. Tidak hanya akan menimbulkan kiamat bagi satwa langka yang bernaung di dalamnya tapi juga akan mengancam eksistensi manusia yang mengambil manfaat lingkungannya.
Hamparan Mutiara Hijau, Rumah Satwa yang Menanti Gagasan Konservasi
Pernahkan kita melihat korban kecelakaan yang bagian tubuhnya terlepas salah satu? Atau pernahkah kita melihat korban penikaman atau tebasan senjata tajam? Pernahkan kita melihat korban penganiayaan dan kekerasan yang sadis? Atau pernahkah kita membayangkan seorang ayah atau ibu dibunuh di depan mata anaknya?. Pasti yang ada dibenak kita adalah rasa sakit dan jeritan yang tidak dapat terbayangkan. Jikalau kita ada dihadapan orang yang mengalami hal seperti itu, pasti kita akan mendengarkan jerit rintihannya dan satu kata yang sangat penting yaitu “pertolongan”. Pernahkah kita bayangkan jika pohon dan hewan bisa bicara? Pernahkah kita membayangkan bagaimana jeritan hewan dan tumbuhan meminta tolong saat mesin-mesin pemotong kayu dan senjata-senjata pemburu menghentikan detak kehidupan mereka di muka bumi?. Kembalikan itu pada hati nurani kita sebagai makhluk yang tamak dan tidak pernah berterima kasih kepada kedua makhluk Allah swt tersebut. Hewan dan tumbuhan adalah salah satu bagian terpenting dalam tatanan keseimbangan kehidupan dan kita patut berterima kasih pada keduanya, tetapi ternyata perlakuan kita sangat antiklimaks. Kitalah yang memulai aksi-aksi penghancuran, kita sebenarnya merupakan asselerator yang mengakselerasi datangnya bencana dan tragedi di muka bumi.  Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) harus segera mendapatkan “perawatan medis” dari kita manusia yang bergantung pada manfaat lingkungan yang ditimbulkannya. Perawatan medis itu adalah berbagai aksi konservasi yang sangat dibutuhkan sebagai upaya pengembalian kelestarian kawasan Situs Warisan Dunia tersebut. Konservasi yang bertujuan untuk mengembalikan untaian mutiara hijau Sumatera yang sudah tersegmentasi akibat ulah manusia dan mengembalikan kelayakan hidup bagi berbagai hewan atau satwa yang hidup di dalamnya.
Menggagas Rencana Dan Aksi Konservasi
Memulihkan kembali Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) adalah tanggung jawab kita semua sebagai manusia yang masih memerlukan manfaat langsung dan tidak langsung dari keberadaan Taman nasional Gunung Leuser yang menguntai bak mutiara hijau di hamparan daratan Sumatera Utara dan Aceh. Menggagas konservasi di kawasan TNGL merupakan sebuah kewajiban seperti penetapan status aktifitas gunung berapi, penetapan status konservasi di kawasan TNGL harus diprioritaskan pada level “segera”.
Konservasi seperti pelestarian satwa dengan cara insitu dan eksitu bukanlah lagi hal yang baru untuk kegiatan konservasi dibeberapa wilayah TNGL, seperti penangkaran orangutan di Bukit Lawang, penangkaran Gajah di Tangkahan, Aceh, dan penangkaran beberapa satwa liar di wilayah lain dalam kawasan TNGL. Melakukan reboisasi juga bukanlah hal baru dalam kegiatan konservasi. Namun cara dalam melakukan hal-hal tersebut yang harus diperbaharui, caranya harus lebih bersifat persuasif dan atraktif dengan pengelolaan yang berbasis partisipatif dan kolaboratif. Beberapa hal yang dapat dilakukan terkait konservasi kawasan TNGL adalah sebagai berikut:
1. Reboisasi sistem “Tanam Pakan”
Reboisasi yang selama ini dikenal cenderung kaku dan stagnan. Reboisasi yang selama ini dilakukan hanya memihak pada satu sisi pelestarian, yakni penghijauan dan belum memihak pada eksistensi satwa yang tinggal dikawasan reboisasi tersebut. Reboisasi yang selama ini dilaksanakan kebanyakan menanam jenis pohon-pohon keras seperti cemara, pinus, akasia, mahoni, dan tanaman menjulang lainnya. Harus ada satu jenis reboisasi yang mampu mengakomodir dua kepentingan kelestarian habitat dan  ekosistem, yakni reboisasi sistem “tanam pakan”. Reboisasi ini adalah reboisasi yang tidak hanya bertujuan sebagai fungsi penghijauan namun juga memiliki fungsi penyediaan makanan bagi satwa herbivora terancam punah. Beberapa hewan herbivora terancam adalah Gajah, badak, burung, dan orang utan. Jenis makanan mereka seperti badak yang memakan kulit kayu, kedondong hutan, mangga hutan, gajah yang memakan daun kelapa, dan jenis-jenis perdu, orang utan yang memakan biji-bijian dan buah-buahan, begitu juga dengan kera. Reboisasi yang ditujukan menanam pohon “pakan’ satwa tersebut harus menjadi prioritas karena proses insitu dan pelepasliaran tidak akan berjalan lancar jika tidak ada dayadukung lingkungan yang memadai dalam penyediaan makanannya.
2. Membuat Kegiatan “Ketapel Biji”
Mungkin agak sedikit aneh bagi telinga orang-orang yang mendengarnya. Tetapi aksi yang tak terpikirkan ini akan sangat bermanfaat, sederhana tetapi berdampak nyata. Kegiatan ini adalah kegiatan yang sangat menguntungkan tidak saja bagi pelestarian TNGL tapi juga mendorong kegiatan olahraga. Ketapel biji adalah kegiatan memanah biji (biji durian, biji nangka, biji cempedak, rambutan, dan bii yang berpotensi tumbuh sebagai pohon) menggunakan ketapel ke arah hutan kawasan TNGL. Jika kegiatan seru ini berlangsung, ia dapat melibatkan semua kalangan usia, terlebih lagi anak-anak yang dipersiapkan sebagai “laskar konservasi”, selain sebagai sarana bermain anak-anak, kegiatan ketapel biji ini akan memberi dampak penghijauan bagi TNGL, dalam beberapa tahun biji yang dilontarkan dari ketapel menuju ke pedalam hutan akan tumbuh sebagi pohon keras yang tidak hanya berfungsi sebagai penghijau hutan dan absorber/penyerap air tapi juga bermanfaat bagi makanan hewan yang ada di dalamnya.
3. Menggandeng Pemuka Agama, Menghilangkan Mitologi Obat Pada Tubuh Satwa   Langka
Masalah yang hingga kini menghantui eksistensi hewan langka dan terancam punah di kawasan TNGL adalah masih berkembangnya sikap dan ketradisionilan negatif yang merusak. Kepercayaan masyarakat atas kandungan beberapa bagian tubuh hewan langka sebagai obat berbagai penyakit masih saja ada. Penanaman logika kepada masyarakat harus disegerakan dengan menggandeng pemuka agama dan ahli medis terkait untuk mengurangi dan menghilangkan mitologi-mitologi yang mengancam keberadaan hewan langka di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser.
4.  Menetapkan “Cinta Konservasi” sebagai Muatan Lokal Sekolah (Kerjasama Antar    Institusi)
Memelihara Keberadaan Taman Nasional sebagai situs warisan dunia sangatlah penting.  Mengingat sebagai kawasan penyangga kehidupan dan stabilisasi ekosistem, keberadaan TNGL harus segera dilestarikan dalam jangka waktu tak terhingga. Menanamkan rasa cinta konservasi merupakan pendekatan yang harus dilakukan dengan cepat, salah satu pendekatan yang sangat baik adalah melalui pendidikan. Penanaman rasa cinta konservasi harus ditanamkan kepada generasi penerus bangsa. Dalam hal ini harus ada kerjasama inter-institusi antara Kementerian Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diaplikasikan ke daerah Aceh dan Sumatera Utara. Pelaksanaan pada tingkat sekolah dengan tenaga pendidik yang berwawasan konservasi dapat membentuk tim konservasi sekolah dan menanamkan rasa cinta konservasi sejak dini.
KERJASMA INTERINSTITUSI PEMERINTAH DALAM MENGAPLIKASIKAN PENDIDIKAN CINTA KONSERVASI DI WILAYAH TNGL
 



                                                                                                            
                                                           



                                             
                                                                       PELATIHAN





Kerangka kerja pembentukan tenaga pendidik berwawasan konservasi untuk penerapan di sekolah sekitar TNGL bahkan Indonesia (Oleh Muhammad Akbar).


SUMBER DATA RUJUKAN (REFERENSI)
Ikhsan, dkk. 2009. Meretas Jalan Mewujudkan Desa Konservasi. Medan: Konsorsium Pusaka Indonesia.
Mangunjaya, Fachrudin M. 2005. Konservasi Alam Dalam Ilsam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

“MEREKA ISTIMEWA” DISABILITAS BUKAN HARUS MENDERITA DISFUNGSI HAK PENDIDIKAN DAN DISKRIMINASI SOSIAL

Oleh: Muhammad Akbar, S.Pd.


“Eh, kamu itu cacat, tidak mungkin bisa ikut lomba lari, orang cacat tidak bisa main ini dan itu, cacat tidak boleh ikut ini dan ikut itu, tidak bisa jadi ini dan jadi itu, mereka tidak bisa melakukan pekerjaan ini dan pekerjaan itu”. Mungkin pernyataan-pernyataan yang sifatnya mendiskreditkan dan mendiskriminasikan para penyandang disabilitas seperti itu umum sekali kita dengar di mana-mana dan acapkali diucapkan oleh orang-orang yang memiliki bentuk, struktur dan fungsi tubuh yang umumnya normal dan lebih sempurna dibandingkan penyandang disabilitas. Namun pernyataan seperti itu adalah pernyataan yang timbul dari mulut orang-orang yang sebenarnya secara tidak sadar merekalah yang memiliki disabilitas pola pikir yang logis dan mengalami disabilitas etika. Mengapa demikian? Karena jika seseorang berfikir bahwa orang yang tidak memiliki kaki, atau tidak memiliki tangan dan belum sempurna secara fisik serta mental tidak akan bisa melakukan apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa, maka seseorang itu adalah orang yang memiliki “cacat analisis logis” dalam otaknya.
Masih banyak orang-orang yang mengaku (katanya) dirinya normal secara fisik dan fikiran, namun masih saja menganggap kondisi disabilitas merupakan kondisi yang nista, rendah, dan tidak terpandang. Bahkan sistem dan struktur sosial masyarakat secara tidak sadar namun telah mengakar  selalu menempatkan posisi orang-orang yang menyandang disabilitas di posisi yang tersudut dan terpojok bahkan sama sekali tidak memiiki tempat yang layak untuk mengembangkan potensi diri yang sebenarnya bisa jadi lebih besar ketimbang manusia normal lainnya. Tidak jarang pula bentuk diskriminasi dan tindakan yang mendiskreditkan penyandang disabilitas meluncur baik secara verbal maupun non verbal. Hal ini jelaslah merupakan sebuah pelanggaran dan kesewenang-wenangan yang secara langsung maupun tak langsung ditujukan untuk mematikan daya kreativitas dan karakter saudara-saudara yang menyandang disabilitas untuk dapat mengembangkan kemampuan diri yang besar dalam diri mereka. Hal tersebut merupakan sebuh pelanggaran dasar terhadap hak asasi seseorang untuk dapat bisa menikmati kehidupannya meskipun ia seorang difabel.
Hal yang menyedihkan tidak hanya terjadi pada tingkatan organisasi maupun kemasyarakatan yang biasa-biasa saja atau dari kalangan masyarakat yang ada di tingkatan bawah saja, namun pelanggaran dan ketidakadilan juga menimpa kaum difabel/penyandang disabilitas melalui pelanggaran terhadap sistem dan perundang-undangan yang ada, diantaranya:


1. Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak 
Persamaan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dalam UUD 1945 terdapat dalam pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini berarti pasal tersebut  menegaskan pentingnya persamaan sosial maupun ekonomi bagi seluruh warga negara. Namun, pelanggaran terhadap perundang-undangan ini kerap saja terjadi di negeri ini. Ketika sebagian besar saudara-saudara yang menyandang disabilitas menggantungkan mimpi mereka setinggi bintang di langit untuk dapat berdampingan dan hidup dengan penghidupan dan pekerjaan yang layak, disaat yang bersamaan pula banyak manusia lain yang seolah menjadi “black hole” yang melenyapkan segala mimpi besar saudara-saudara yang menyandang disabilitas dengan berbagai peraturan yang sebenarnya masih sangat bisa dilonggarkan dan masih sangat bisa untuk dilunakkan bagi penyandang disabilitas. Begitu banyak peraturan yang sifatnya diskriminatif dan mendiskreditkan para penyandang disabilitas. “Pelamar harus sehat jasmani dan rohani” merupakan salah satu point yang acapkali menjadi penghalang bagi saudara-saudara yang mengalami disabilitas untuk menenmpati beberapa posisi pekerjaan yang sebenarnya bisa mereka lakukan tetapi peraturan itu mengekang dan mengungkung keinginan mereka untuk dapat bekerja dan hidup layak. Memanglah peraturan tersebut sangat penting dalam membuat suatu rekrutmen kerja sebuah perusahaan, namun di lain sisi eputusan biasanya diambil secepat kilat dan sepihak ketika seorang difabel ingin mendapatka posisi kerja yang diinginkan dan langsung keputusan “tidak’ langsung diberikan tanpa mempertimbangkan apapun. Padahal bisa jadi penyandang difabel tersebut bisa melakukan pekerjaan yang dia inginkan. Contohnya jika karena jari atau tangan yang kurang, maka dianggap tidak sehat secara jasmani dan tidak bisa menjadi seorang customer service dalam sebuah perusahaan. Padahal kemampuan komunikasi dan interpersonal seorang yang kurang tangan atau jarinya belum tentu lebih rendah daripada mereka yang lengkap fisiknya, namun pada kenyataannya tidak pernah ditemukan bahwa penyandang disabilitas fisik jarang sekali bahkan dianggap tak layak untu menempati beberapa bahkan banyak posisi pekerjaan sementara pekerjaan merupakan salah satu indikator untuk mereka dan manusia lain agar dapat memperbaiki kehidupannya dan menjadikannya hidup pada taraf kehidupan yang dapat dikatakan layak.
2. Hak Mendapatkan Pengajaran 
Dalam UUD 1945 persamaan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pengajaran dijamin berdasarkan pasal 31 ayat (1) yang menetapkan bahwa (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Pelanggaran pada ayat (1) undang-undang tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi pada saudara-saudara yang menyandang disabilitas secara fisik maupun mental, namun pelanggaran ini juga umumnya sangat belum berjalan dengan efektif juga bagi warga negara terutama anak-anak yang notabene merupakan tunas pembangunan bangsa masa depan. Tetapi khususnya bagi penyandang disabilitas masalah yang didapati lebih dramatis dan lebih emosional. Sekolah yang ditujukan untuk menampung anak-anak dan saudara-saudara yang mengalami disabilitas disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) dan keberadaannya sungguh sangat tidak terjangkau bagi mereka yang tinggal di pedesaan. Jarang sekali dijumpai sekolah luar biasa di pedesaan, sehingga hak sebagai warga negara dan hak sebagai manusia yang memiliki posisi tawar yang sama untuk dapat mengenyam pendidikan yang layak sangat jauh dari harapan. Para orangtua yang memiliki anak dengan kondisi disabilitas yang berada di pedesaan yang menginginkan sekolah bagi buah hatinya yang istimewa harus rela mengubur mimpi dan angannya dalam-dalam karena ketersediaan sarana dan prasarana untuk mendukung tumbuh kembang buah hatinya yang mengalami disabilitas sangat terbatas terutama dalam bidang pendidikan. Selain itu, jargon dan paradigma yang keliru dan mengakar ke anak cucu selalu saja menghantui para penyandang disabilitas. Pandangan bahwa sekolah luar biasa adalah sekolah untuk orang “idiot” masih saja terpatri di benak dan pemikiran masyarakat kita. Sekolah Luar Biasa seolah menjadi tempat bagi mereka yang “tidak waras” padahal sebenarnya Sekolah Luar Biasa merupakan tempat bagi mereka yang istimewa. Mengapa mereka istimewa? Penulis menganggap mereka istimewa karena mereka tidak pernah mengeluh atas apa yang mereka dapati dan mereka alami, mereka tetap bisa menjadi diri mereka sendiri dengan segala keterbatasan diri mereka.
Terlalu banyak bentuk pelanggaran terhadap mereka yang mengalami disabilitas, sangat sedikit dari saudara-saudara yang menyandang disabilitas bisa menikmati hidup dengan layak dan pantas. Ketidak adilan dan tindakan diskriminatif seringkali terjadi pada mereka yang mengalami disabilitas. Ini bukan hanya sekedar retorika dan teoritik saja namun lebih dari sekedar fakta dan bukti umum bahwa mereka yang mengalami disabilitas pasti mendapat perlakuan yang kebanyakan menyakiti hati mereka sebagai manusia yang memiliki fungsi dan posisi tawar yyang sama sebagai warga negara terlebih sebagai manusia.
Pengalaman penulis dari sejak belum bisa menganalisis apa-apa bahkan hingga dapat sedikit menganalisis dengan fakta yang terjadi menunjukkan bahwa hingga saat ini diskriminasi dan mencabut hak pendidikan kepada mereka yang mengalami disabilitas masih kerap dan bahkan selalu terjadi. Pengalaman 10 (sepuluh) tahun yang lalu penulis rasakan dan lihat sendiri. Pengalaman ini bukanlah pengalaman penulis sebagai seorang disabilitas, karena penulis bukan penyandang disabilitas namun pengalaman penulis pada saat ikut mengantarkan tetangga penulis yang berkeinginan keras bisa kursus keterampilan dan bersekolah layaknya orang-orang normal pada umumnya. Membot (almarhumah), biasa ia dipanggil, Ia beserta segala kenangan tentang hidupnya dulu menjadi saksi bisu betapa ketidak adilan sangat terasa mendera kaum difabel. Keinginannya untuk dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang ia miliki sirna karena disabilitas mental yang ia alami. Kata-kata “dia tak boleh sekolah di sini, kan dia itu idiot buk jadi tak bisa” yang Ia dengar bersama Kakaknya seolah menjadi jeruji yang mengurung segala keinginannya dan seolah menjadi pisau yang memutuskan harapannya untuk bersekolah. Ia adalah sosok yang istimewa, di saat anak-anak lainnya banyak yang tidak ingin bersekolah karena memang tak berniat seklah akibat pergaulan dan lingkungan yang masih kurang terdidik, Ia munculsebagai seorang yang berkeinginan kuat untuk dapat mengenyam pendidikan dan sekolah dengan kondisi disabilitas yang disandangnya. Ternyata masalah disabilitas yang disandangnya membuat ia menjadi sosok anak yang tidak pantas diterima di sekolah oleh orang-orrang yang normal. Ditambah lagi keberadaan SLB tidak ada. Meskipun begitu Ia tidak pernah menyalahkan Tuhan dan tak pernah menyalahkan manusia lain atas kondisi penolakan dan disfungsi hak pendidikannya karena kondisi difabel yang dimilikinya. Tiap jumat penulis sebagai teman dekat dan teman bermainnya hanya bisa melihat Ia berdoa dan membaca kitab suci di atas pusara Ibunya. Dengan kondisi yang demikian saja Ia tidak melupakan ibunya dan terus mendoakan Ibunya padahal anak-anak normal lain seusianya belum tentu berbuat demikian, apakah itu bukan hal yang istimewa? Tetapi meskipun demikian tetap saja saudara-saudara yang mengalami disabilitas menderita disfungsi hak terutama hak pendidikan mereka serta terus menjadi korban tindakan yang diskriminatif.
Mungkin Ia adalah satu dari sekian banyak penyandang disabilitas di Indonesia bahkan di dunia yang mendapat tindakan diskriminatif dan menderita disfungsi hak pendidikan. Penulis memandang bahwa hal ini merupakan masalah mindset yang telah lama mengakar dan tumbuh subur di kalangan masyarakat yang mempercayai bahwa mereka yang difabel adalah makhluk yang tidak layak dan tak berdaya. Kesombongan dan keangkuhan kita yang normal harus dihilangkan dan sesegera mungkin mengubah pola pikir yang salah terhadap mereka yang mengalami disabilitas. Mereka itu istimewa, mereka merupakan bukti kalau kesempurnaan itu benar-benar ada. Mereka adalah makhluk Tuhan yang memiliki keistimewaan, lihat saja pada ajang Paralimpic, Para Games, lihat saja mereka yang menjadi atlet dan menjadi orang-orang sukses meskipun seorang difabel. Apakah mereka tidak bisa melakukan apa yang dilakukan manusia normal lainnya? Salah besar jika anggapan kita mengatakan bahsa mereka tidak bisa melakukan apa yang kita lakukan, mereka bisa bahkan lebih dari yang kita lakukan dan itulah yang membuat mereka istimewa.
Beberapa hal yang penulis anggap perlu untuk dibudayakan dan diperbaiki untuk mengubah paradigma disabilitas diantaranya sebagai berikut:
1. Membuat peraturan yang mendukung terjaminnya hak pendidikan kaum difabel.
2. Membentuk pusat kursus dan pusat pelatihan keterampilan bagi kaum difabel.
3. Membangun Sekolah yang layak untuk menampung hak pendidikan kaum difabel di
   seluruh tempat di Indonesia.
4. Memperbaiki etika sosial dan membenahi pandangan buruk terhadap kaum difabel di  
   segala tempat.
5. Membuat “Pusat Layanan Disabilitas” bagi orangtua yang memiliki anak-anak difabel   
   agar mereka terlatih untuk membentuk bakat anak-anaknya
6. Mendirikan pusat kegiatan olahraga  dan keterampilan tangan bagi kaum difabel di
    seluruh Indonesia.
7. Membuat undang-undang anti penolakan terhadap kaum difabel.

Mereka istimewa, kondisi disabilitas yang dialami oleh mereka jangan sampai menjadikan mereka hina dan mencabut hak mereka sehingga mereka mengalami disfungsi hak terhadap pendidikan mereka. Hentikan dan kampanyekan penghentian tindakan diskriminasi soial terhadap mereka karena jika mereka diberdayakan bukan mustahil kalau mereka bisa mengubah lingkungan kehidupan sekitarnya.

KOPERASI DAN PENDIDIKAN: MEMBENTUK KARAKTER GENERASI MELALUI APLIKASI NILAI KOPERASI

Oleh : Muhammad Akbar*)
A.      Pendahuluan
Indonesia dan semua negara dunia ketiga tengah menghadapi ekspansi budaya dan ekonomi dalam era globalisasi. Globalisasi mengharuskan semua bentuk organisasi ikut terlibat dan berjuang agar tetap eksis, sehingga untuk mewujudkannya diperlukan berbagai perubahan yang sesuai dengan kondisi yang ada. Untuk mencapai keberhasilan, suatu organisasi tidak lepas dari sumber daya yang digunakan, yaitu manusia, material, mesin, metoda, uang dan pasar, diantara sumber daya tersebut, yang menjadi faktor penggerak bagi sumber daya lain adalah manusia. Oleh sebab itu, kualitas dari sumber daya manusia harus terus ditingkatkan agar organisasi dapat mencapai tujuan. Salah satu organisasi dalam bentuk badan usaha yang memiliki sejarah panjang mempertahankan eksistensinya di nusantara adalah koperasi.
Badan usaha koperasi mempunyai tujuan utama tidak untuk mencari laba tetapi untuk melayani anggota koperasi agar lebih sejahtera dengan asas kekeluargaan. Hal ini juga sudah ditegaskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat 1 yang menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Koperasi merupakan wadah untuk mengembangkan demokrasi ekonomi dan menghimpun potensi pembangunan melalui anggota masyarakat dan melaksanakan kegiatan ekonomi untuk mengangkat kehidupan anggotanya. Koperasi secara efektif dapat menjadi wadah atau payung "politik ekonomi” dalam memberdayakan, memperjuangkan kepentingan dan kedaulatan ekonomi rakyat.
“Koperasi harus menjadi pilar ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengakuan Koperasi dalam UUD 1945 mencerminkan koperasi sebagai jati diri bangsa Indonesia. Lebih dari itu, semangat kekeluargaan dan kebersamaan dalam berkoperasi menjadi budaya gotong-royong soko guru ekonomi NKRI”, inilah statement yang disampaikan oleh ketua Dewan Koperasi Nasional (Dekopin), H.A.M. Nurdin Halid pada pembukaan rakernas Dekopin di Bali,
25-27 Februari 2014. Koperasi, bukan barang baru di kancah perekonomian nasional. Sesuai dengan pertimbangan Presiden RI dalam UU No. 25 Tahun 1992, bahwa koperasi baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur, menjadi pilar dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama didasarkan atas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Koperasi didirikan  bertujuan  untuk memperbaiki kehidupan ekonomi dan sosial anggotanya, misalnya melalui koperasi konsumsi mereka dapat meningkatkan penghasilan dan taraf hidup mereka, karena mereka akan memperoleh harga  barang-barang yang murah sekaligus dapat besosialisasi  dengan anggota lain melalui organisasi koperasi. Dengan melalui sosialisasi mereka dapat saling berbagi  untuk memecahkan masalah  ekonomi yang mereka hadapi. Begitu pula koperasi sekolah yang beranggotakan guru, pegawai sekolah dan siswa, mereka dapat memenuhi kebutuhan ekonominya melalui koperasi yang mereka usahakan secara bersama, dikelola secara bersama, dikelola dan diawasi bersama untuk kesejahteraan bersama.
Sejatinya koperasi diperlukan sebagai salah satu garda pertahanan ekonomi nasional yang bergerak pada penguatan ekonomi masyarakat menghadapi pasar bebas. Menko Perekonomian, Hatta Rajasa (2014) mengatakan jumlah pelaku usaha mikro sebanyak 98,82% dengan sumbangan Pendapatan Domestik Bruto sebanyak 29,74%. Koperasi amat penting, namun tidak bisa dinafikkan bahwa perkembangan koperasi masih stagnan. Tidak hanya itu, masalah regenerasi pelaku ekonomi koperasi juga belum benar-benar menjadi prioritas sentral sebagai pendukung vital dan ujung tombak akselerasi pembangunan koperasi nasional.
Berbicara regenerasi, tak pelak akan melibatkan kaum muda serta para pelajar sebagai “tunas” yang akan bertransformasi menjadi pohon yang kokoh sebagai representase ketahanan nasional dalam bidang ekonomi, khususnya ekonomi koperasi. Mempersiapkan kaum muda dan pelajar sebagai pelaku
utama dalam kegiatan koperasi memerlukan pendekatan yang komprehensif terutama melalui bidang pendidikan. Mengaplikasikan nilai-nilai koperasi dalam pendidikan secara nyata adalah suatu keharusan kini dan nanti.
Masalah regenerasi pelaku utama koperasi sebenarnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang. Berlandaskan UUD pasal 33 ayat 1, mengandung cita-cita untuk menembangkan perekonomian yang berasaskan kekeluargaan. Dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 berisi tentang pedoman bagi pemerintah dan masyarakat mengenai cara-cara menjalankan koperasi , termasuk koperasi sekolah. Koperasi sekolah sangat membantu bagi para siswa untuk mengembangakan potensinya dalam bidang ekonomi dan sebagai latihan bertanggung jawab dan kemandirian siswa. Koperasi didirikan berdasarkan surat keputusan bersama antara Departemen Transmigrasi dan Koperasi dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 16 Juli 1972 Nomor 275/SKPTS/Mentranskop dan Nomor 0102/U/1983. Kemudian diterangkan lebih lanjut dalam surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja , Transmigrasi, dan Koperasi Nomor 633/SKPTS/Men/1974. Menurut surat keputusan tersebut, yang dimaksud dengan koperasi sekolah adalah koperasi yang didirikan di sekolah-sekolah SD, SMP, SMA, SMK, Madrasah, dan Pesantren. Keputusan menteri tersebut sudah mengakomodir kepentingan koperasi sebagai badan usaha dan mengakomodir kepentingan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang membentuk karakter generasi masa depan dengan pendidikan karakternya. Hal ini ibarat ”ladang subur” untuk menumbuhkembangkan potensi kaum muda dan pelajar untuk mampu menjadi bagian penting dalam pengembangan pembangunan ekonomi khususnya koperasi agar pada tahun 2025 dan 2045 yang menjadi tahun emas Indonesia, para pelajar ini dapat tumbuh menjadi pelaku utama dalam membentengi ekonomi negara berlandaskan kekeluargaan.
B.       Koperasi dan Pendidikan Karakter
1.      Koperasi
Koperasi secara harfiah berasal dari bahasa Inggris “Coperation” yang terdiri dari dua suku kata, yaitu ”co” yang berarti bersama dan “operation” yang artinya bekerja. Jadi secara keseluruhan koperasi berarti bekerja sama. Menurut pengertian umum, koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang yang bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 dinyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Hal ini mengandung arti bahwa kemakmuran masyarakat yang diutamakan dan bukan kemakmuran orang perorang.
Menurut UU No. 25 Tahun 1992 Koperasi diartikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Karena koperasi juga sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan maka kegiatan operasional koperasi lebih mementingkan gotong royong dan kerjasama antar anggotanya. R.S. Soeriaatmadja mendefinisikan koperasi sebagai suatu perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia dengan tidak memandang haluan agama dan politik secara sukarela masuk untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atau tanggungan bersama (Hendrojogi, 2000).
Pengertian sebagai badan usaha menunjukkan bahwa koperasi sebagai bentuk kerja sama dibidang ekonomi mempunyai tujuan untuk memperoleh keuntungan. Sedangkan yang dimaksud dengan “berdasarkan prinsip koperasi” merupakan esensi dasar kerja koperasi sebagai badan usaha yang lebih mengutamakan kepentingan anggota yang merupakan pemilik sekaligus sebagai pelanggan atau pengguna jasa koperasi. Identitas ganda (dual identity) tersebut yang membedakan antara koperasi dengan badan usaha lain. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ropke (1985) “an organization is to be considered as cooperative if the (legal) owners of the organization (enterprise) are also the user of the output or service of this organization”. Jadi tidak semua organisasi dapat disebut sebagai koperasi, dan hanya yang memenuhi kriteria prinsip identitas yang dapat dikategorikan sebagai koperasi.
Koperasi, Nilai Dasar dan Prinsip Praktikal
Sesuai dengan fungsi dan peran koperasi yakni membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan pada masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, lalu berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat  dan memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perkonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya.
Dalam sebuah organisasi apalagi yang menyangkut kepentingan bersama, maka harus memiliki nilai yang dapat diejawantahkan dalam setiap sendi kehidupan anggotanya. Nilai ini mengandung prinsip yang mengikat baik secara individu maupun komunal. Ikatan nilai dan prinsip dalam berorganisasi terutama koperasi bertujuan untuk mempertahankan kekuatan anggota dan memantapkan eksistensi bersama dalam mencapai tujuan ekonomi bersama yang sejahtera. Nilai dasar, prinsip, dan praktik koperasi adalah hal yang sangat menarik untuk dibahas oleh siapa saja, karena nilai dasar dan prinsip koperasi merupakan jiwanya koperasi itu sendiri sekaligus merupakan pedoman dan tuntunan di dalam kiprahnya koperasi.
Prof. Craig (Dalam Laporan Kopertis 13) mengusulkan tiga nilai sentral sebagai dasar falsafah sosial sistem koperasi yaitu keadilan (justice), kesamaan hak (equal rights) dan saling menolong (reciprocal help/solidarity). Perumusan Craig berdasarkan pengamatan tentang prinsip-prinsip dan praktik koperasi yang selama ini berlaku. Nilai dasar keadilan tersirat dalam prinsip koperasi terbuka dan manajemen secara demokratis, imbalan terbatas terhadap modal, pembagian SHU berdasarkan pemanfaatan jasa koperasi, sedangkan nilaidasar solidaritas tersirat dari prinsip koperasi, pendidikan dan kerjasama antar koperasi. Selain itu, koperasi mengandung nilai etis meliputi kejujuran dan keterbukaan, kemudian juga mengandung nilai fundamentalis, yakni bersifat universal, tolong menolong, bertanggung jawab, keadilan, dan solidaritas (Setiawan, 2014)
2.      Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU No. 20 Tahun 2003). Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Bertitik tolak dari definisi tersebut, ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang ingin kita bangun pada diri para siswa, jelaslah bahwa ketika itu kita menghendaki agar mereka mampu memahami nilai-nilai tersebut, memperhatikan secara lebih mendalam mengenai benarnya nilai-nilai itu, dan kemudian melakukan apa yang diyakininya itu, sekalipun harus menghadapi tantangan dan tekanan baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Dengan kata lain mereka meliliki kesadaran untuk memaksa diri melakukan nilai-nilai itu.
Pengertian yang disampaikan Lickona di atas memperlihatkan adanya proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan tindakan (moral action), sekaligus juga memberikan dasar yang kuat untuk membangun pendidikan karakter yang koheren dan komprehensif. Definisi di atas juga menekankan bahwa kita harus mengikat para siswa dengan kegiatan-kegiatan yang akan mengantarkan mereka berpikir kritis mengenai persoalan-persoalan etika dan moral; menginspirasi mereka untuk setia dan loyal dengan tindakan-tindakan etika dan moral; dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mempraktikkan perilaku etika dan moral tersebut.
Puskur (2010) membagi nilai-nilai yang ditanamkan dan dikembangkan pada sekolah-sekolah di Indonesia beserta deskripsinya adalah sebagai berikut:
1. Religius. Sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya.
6. Kreatif. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis. Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air. Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komuniktif. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
C.      Pendidikan Koperasi, Edukasi dan Aplikasi Nilai Koperasi
Mengapa harus pendidikan koperasi?. Pendidikan dan latihan pada dasarnya sangat dibutuhkan oleh semua bentuk organisasi, besar maupun kecil, termasuk pula perkumpulan koperasi. Menurut Sudarsono (2005) dikatakan bahwa pada gerakan koperasi masalah pendidikan dan latihan ini sangat urgen sebab dalam penyelenggaraannya terkandung dimensi ideologi yang harus dipatuhi. Di sinilah antara lain pentingnya masalah pendidikan dan latihan koperasi. Selain itu pendidikan dalam koperasi bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran koperasi di kalangan anggota pada umumnya (termasuk pengurus, badan pengawas) serta untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan personil-personil yang menangani bidang usaha.
Secara historis dan psikis, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan sejarah koperasi di tanah air. Jauh sebelum ditetapkannya hari koperasi 12 Juli di Tasikmalaya, sekolah Boedi Oetomo yang didirikan oleh Dr. Soetomo pada 1908 menjadi wadah yang sangat berpengaruh bagi perkoperasian di nusantara. Beberapa nilai koperasi yang ada diantaranya: berdikari, demokrasi, kesamaan, keadilan, perpaduan, kesetiaan, dan bersatu hati (wikipedia.com). Lebih spesifik lagi koperasi mengandung nilai etis meliputi kejujuran dan keterbukaan, kemudian juga mengandung nilai fundamentalis, yakni bersifat universal, tolong menolong, bertanggung jawab, keadilan, dan solidaritas (Setiawan, 2014). Adapun nilai-nilai etis dan fundamentalis dalam koperasi ini sangat linier dengan tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal (3) dan (4) yang bertujuan untuk menciptakan generasi cerdas, bertaqwa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, serta bertanggung jawab. Suatu kolaborasi nilai yang memiliki aktualisasi pengejawantahan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada studi kasus yang dilakukan oleh Farhati Zain pada Kopma Bumi Siliwangi UPI Bandung mengenai Hubungan Pendidikan Perkoperasian Dengan Parisipasi Anggota, didapatkan fakta bahwa variabel proses pembelajaran berkontribusi 77,44%, variabel kompetensi instruktur berkontribusi 76,78% dan variabel partisipasi anggota 78,78%. Tingkat keeratan proses pembelajaran berhubungan positif dan signifikan dengan partisipasi anggota 0,806. Kompetensi instruktur pelatihan berhubungan positif dan signifikan dengan partisipasi anggota 0,810. Proses pembelajaran dan kompetensi instruktur pelatihan secara simultan berhubungan positif dan signifikan dengan partisipasi anggota 0,816. Gultom (2009) menyatakan bahwa agar seseorang dapat melakukan sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge) sikap (attitude), dan keterampilan (skill) yang sesuai bidang pekerjaannya. Jika pendidikan perkoperasian dielaborasikan dalam bentuk yang lebih berkarakter, maka sangat membuka peluang untuk siswa dapat menjadi manusia yang memiliki kemampuan, pengetahuan, sikap, dan keterampilan berkoperasi yang ciamik sesuai dengan tuntutan nilai koperasi itu sendiri
Potensi pelajar nusantara harus segera dikelola sebagai sumber investasi mikroekonomi ataupun makroekonomi masa depan yang renewable resources. “Duet” peta persebaran sekolah dan koperasi di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa “tentakel” koperasi sudah menjangkau seluruh wilayah nusantara dan sangat berpotensi untuk merambah sekolah melibatkan siswa sebagai pelaku yang kelak akan menjadi regenerasi dimasa mendatang sesuai tuntutan UU No. 25 Tahun 1992 dan UU No.20 Tahun 2003 guna mengakselerasi pembangunan sumberdaya manusia Indonesia dengan pendidikan yang berkarakter dengan aplikasi nilai koperasi.




D.      Sekolah, Wadah Membentuk Generasi Berkarakter Koperasi
Menilik Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia tahun 2010-2014, terdapat rencana Strategi Peningkatan Daya Saing SDM Koperasi dan UMKM. Pengembangan sumber daya manusia merupakan bagian dari upaya penumbuhan kualitas dan jumlah wirausaha. Dalam hal ini aspek penting dalam pengembangan SDM berkaitan dengan kewirausahaan, perkoperasian, manajerial, keahlian teknis dan keterampitan dasar (live skill). Upaya peningkatan daya saing SDM Koperasi dan UMKM salah satunya dengan pengembangan sistem penumbuhan wirausaha baru dengan cara merumuskan dan mengembangkan kebijakan mendorong, mengembangkan dan membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perkoperasian; memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan; serta membentuk dan mengembangkan Lembaga diklat untuk melakukan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, motivasi dan kreatifitas bisnis, keahlian teknis dan keterampilan dasar (live skill) dan penciptaan wirausaha baru.
Penciptaan wirausahawan baru atau new young entrepreneur, maka tidak akan pernah lepas dari proses pendidikan yang identik dengan lembaga pendidikan atau yang dikenal dengan sekolah. Sekolah sebagai wadah pendidikan yang langsung menangani kaum muda dan menempa generasi penerus yang memiliki kepribadian serta karakter seyogyanya menjadikan siswa sebagai fokus pemberdayaan dan objek yang terlibat langsung dalam proses pembinaaan karakter manusia sebagai
pelaku ekonomi koperasi. Sesuai dengan tuntutan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003  bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Tantangan masa kini dalam bidang ekonomi adalah persaingan di pasar bebas yang melibatkan Indonesia sebagai negara peserta, oleh karena perubahan ini harus diikuti dengan perubahan kualitas sumberdaya manusia Indonesia terutama melalui pendidikan koperasi yang menanamkan nilai-nilai koperasi secara teoritis dan praktis guna mempersiapkan regenerasi pelaku ekonomi koperasi.
Aplikasi nilai-nilai koperasi secara teoritis sebenarnya sudah dilakukan sejak pendidikan ada di Indonesia, namun secara praktikal hal ini masih memerlukan penguatan yang intens guna menghasilkan generasi penerus yang tidak hanya diukur pada skala kuantitas namun kualitas saat para pelajar terjun ke dunia masyarakat untuk mengembangkan potensi diri. Relevansi nilai-nilai koperasi dalam mengakomodir karakter generasi penerus melalui pendidikan karakter sudah tidak perlu diragukan lagi.
Belum banyak kegiatan yang benar-benar melibatkan “aktor-aktor muda” dari kalangan pelajar sekolah untuk menjadi pelaku utama dalam koperasi sebagai program regenerasi dan penguatan jangka panjang menuju generasi emas yang memiliki watak koperasi pada tahun 2045 mendatang. Dengan jumlah siswa mencapai 58 juta jiwa (antara.com), adalah sebuah potensi yang sangat menjanjikan untuk menciptakan young entrepreneur berwatak koperasi. Dalam kolaborasi nilai ini maka 44,3 juta anak yang hidup dibawah garis kemiskinan menurut data rilis UNICEF 2012 akan bisa diberdayakan menjadi pelaku ekonomi koperasi untuk menaikkan taraf hidup manusia Indonesia. Koperasi fokus pada kalimat “pemberdayaan berkelanjutan” bukan sekedar “mempertahankan” karena pelaku koperasi harus menjadi “renewable resources” yang memiliki keberlanjutan dalam mempertahankan kekuatan ekonomi koperasi. Jika siswa diberdayakan dan dilibatkan langsung sebagai aktor utama, maka “patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu”. Dengan memberdayakan siswa untuk menjadi pelaku koperasi, maka “siapa yang menabur benih akan menuai hasil”, hasil pemberdayaannya adalah “manusia koperasi” yakni generasi penerus entrepreneur berkarakter koperasi.
Blueprint dan Grand Design Aplikasi Nilai Koperasi dalam Proses Pendidikan







Gambar: Alur Pemberdayaan Koperasi bagi Siswa oleh Akbar
Kerjasama antarinstitusi menjadi kunci utama pemberdayaan koperasi siswa, mengingat potensi yang besar dan kesamaan visi misi koperasi dengan pendidikan yang menginginkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Maka memberdayakan siswa sekolah adalah sebuah manifestasi yang paling berharga dari aplikasi nilai koperasi melalui pelaksanaan pendidikan karakter.
Ima Suwandi (1982), ”koperasi sekolah adalah koperasi yang anggotanya terdiri dari siswa-siswa sekolah dasar, sekolah menengah tingkat pertama, sekolah menegah tingkat atas, pondok pesantren, dan lembaga pendidikan lainnya yang setaraf”.Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasar prinsip koperasi sakaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. (UU nomor 25 tahun 1992, pasal 1). Sedangkan sekolah merupakan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Keberadaan koperasi sekolah merupakan wahana belajar bagi siswa, melalui koperasi sekolah siswa akan mengetahui, memahami dan kemudian mengimplementasikan koperasi dalam kehidupan di masyarkat. Jadi, Koperasi sekolah adalah koperasi yang didirikan di lingkungan sekolah yang anggota-anggotanya terdiri atas siswa sekolah dengan bimbingan guru. Koperasi sekolah dapat didirikan pada berbagai tingkatan sesuai jenjang pendidikan, misalnya koperasi sekolah dasar, koperasi sekolah menengah pertama, dan seterusnya. Tujuan koperasi sekolah tidak semata-mata untuk memeudahkan siswa membeli perlengkapan sekolah yang dekat dan terjangkau harganya, lebih penting dari itu, koperasi sekolah atau koperasi siswa bertujuan untuk menempa mental dan jiwa para pelajar untuk terjun dan terlibat langsung dalam pengelolaan koperasi hingga nanti setelah selesai dari pendidikan mereka memiliki kemampuan yang mumpuni untuk membuat koperasi di masyarakat atau ikut menggerakkan gairah koperasi guna mengurangi beban pengangguran dan menopang ekonomi kerakyatan yang lebih solid dan berkelanjutan.
Contoh konkrit keberhasilan Koperasi Siswa (Kopsis) yang segala kepengurusannya diserhkan kepada siswa adalah SMA Negeri 5 Jakarta. SMA Negeri 35 Jakarta meraih enhargaan juara I sebagai Koperasi Siswa percontohan yang kesemua pengurusnya adalah siswa, hanya untuk membantu agar tidak terjadinya ketertinggalan pelajar siswa-siswa pengurus koperasi mengambil dua orang petugas.tahun 1987, sekolah ini mendapatkan penghargaan langsung oleh Menteri Koperasi, Bustanul Arifin (wikipedia.com/SMAN35Jakarta). Satu contoh lagi adalah Madrasah Aliyah Negeri 3 Malang, memiliki kemandirian koperasi sekolah yang menjadikan siswa sebagai pengelola utama koperasi (library.um.ac.id). Sekolah selain sebagai wadah menempa pengetahuan siswa juga sebagai wadah pelatihan bagi siswa yang akan menghadapi realita kehidupan ekonomi di masa mendatang. Dengan demikian, eksistensi aplikasi nilai-nilai koperasi dalam pendidikan karakter dewasa ini tidak perlu diragukan lagi dalam memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan karakter manusia Indonesia yang berwatak koperasi, hanya kuantitas pnerapan aplikasi yang sesungguhnya perlu diperluas di seluruh negeri karena melirik peta persebaran koperasi dan peta persebaran sekolahdi Indonesia, maka akan menghasilkan overlapping kolaborasi aplikasi nilai antar institusi yang menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada koperasi.

E.       Penutup
Koperasi dan pendidikan telah berkolaborasi secara langsung maupun tidak langsung dalam proses lahirnya pendidikan karakter dewasa ini. Beberapa nilai pendidikan karakter dan nilai koperasi sangat linier dan sejalan yang membangun karakter manusia Indonesia. koperasi mengandung nilai etis meliputi kejujuran dan keterbukaan, kemudian juga mengandung nilai fundamentalis, yakni bersifat universal, tolong menolong, bertanggung jawab, keadilan, dan solidaritas. Sementara nilai pendidikan karakter yang linier dengan nilai koperasi adalah Kerja Keras, Disiplin, Jujur, Mandiri, Kreatif, Demokratis, dan Bersahabat/Komuniktif. Kolaborasi nilai ini sangat penting dalam membangun karakter manusia Indonesia yang mampu memperkuat pondasi ekonomi bangsa Indonesia berlandaskan karakter koperasi.


Daftar Referensi
Balitbang Puskur. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Kemdiknas Balitbang Puskur.
Baswir, R. Koperasi Indonesia. 2000. BPKE: Yogjakarta
Gultom, Syawal. Dkk. 2010. Kompetensi Guru. Medan: Universitas Negeri Medan.
Hendrojogi. Koperasi Azas-azas, Teori, dan Praktek. 1999. Rajagrafindo: Jakarta
Kopertis 13. Ekonomi Koperasi. Jurnal Media Studi Ekonomi Vol.5. No.1, Januari – April 2001.
Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia. 2010. PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01/Per/M.KUKMII/2010 Tentang Rencana Strategis Kemenkop dan UKM Tahun 2010-2014
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.2004.
Ropke, Jochen. 1985. The Economic Theory of Cooperative Enterprise in Developing Country, With Special Reference of Indonesia. Marburg West Germany: Consult for Self Help Promotion.
Setiawan, Achma Hendra. 2004. Revitalisasi Nilai-nilai Koperasi. Rubrik opini  di suaramerdeka.com/harian/0407/12/opi3.htm
Sudarsono, Edilius. 2005. Koperasi Dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Unair. 2014. Dorong Pelaku Usaha Mikro Berinovasi. Pusat Informasi dan Humas Universitas Airlangga
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Unicef Annual Report. Indonesia Dalam Laporan 2012
Zain, Farhati. 2012. HUBUNGAN PENDIDIKAN PERKOPERASIAN DENGAN PARTISIPASI ANGGOTA (Suatu Kasus Pada Anggota KOPMA Bumi Siliwangi UPI Peserta Pendidikan dan Latihan Manajemen Koperasi). UPI Bandung.
blogdwi19.blogspot.com/2014/01/sejarah-koperasi-indonesia-dan-lambang.html?m=1
fitrisulistyandiani.blogspot.com/2012/01/masalah-koperasi-di-indonesia-yang.html?m=1
library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/keberhasilan-koperasi-sekolah-studi-kasus-di-madrasah-aliyah-negeri-3-malang-ubaid-al-faruq-36232.html.
wikipedia.org/koperasi
www.antara.com/berita/308378/pelajar-indonesia-sampai-58-juta-siswa
______________________________________________________________________________________________________
*)Penulis adalah Warga Medan. Akademisi dan Sarjana Pendidikan Geografi Universitas Negeri Medan
   Penulis aktif di dunia pendidikan dan social, penulis lepas, staf pendidik di Sarjana Mendidik di Daerah 3T
   Penggerak Koperasi Sekolah di tempat penugasan 

 SEMINAR DAN SOSIALISASI BUDAYA POSITIF DI SMAN 1 TAMIANG HULU oleh: Muhammad Akbar Sekolah merupakan ruang untuk mempertemukan berbagai jen...