Oleh: Muhammad Akbar*)
(makbarspd@gmail.com/082277176651
Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tahun 2018 sudah diputuskan oleh Presiden bersama para menteri
pembantu Presiden. Dalam keterangan pers yang dipaparkan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro, bahwa Pemerintah memutuskan untuk memangkas kebijakan
prioritas nasional dari yang sebelumnya sebanyak 23 prioritas, menjadi 10
prioritas saja. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya pemerintah
untuk mempertajam penggunaan anggaran. Adapun 10 prioritas nasional tersebut
meliputi Pendidikan; Kesehatan; Perumahan dan Permukiman; Pengembangan Dunia
Usaha dan Pariwisata; Ketahanan Energi; Ketahanan Pangan; Penanggulangan
Kemiskinan; Infrastruktur, Konektivitas, dan Kemaritiman; Pembangunan Wilayah;
serta Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan[1].
Bidang
pendidikan dan kesehatan menjadi dua bidang yang menempati posisi puncak dalam
piramida skala prioritas nasional tahun 2018 mendatang. Menarik bila ditelisik
lebih jauh, sebab kedua bidang ini memang seyogyanya saling bertautan secara
positif dan harusnya berjalan seirama. Program prioritas untuk pendidikan misalnya,
dalam Perpres Nomor 79 tahun 2017 dipaparkan selain memprioritaskan pendidikan
vokasi dan distribusi guru, program prioritas pendidikan juga menjadi program
yang diselengarakan disemua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, baik formal
maupun nonformal, selanjutnya program prioritas ini juga bertujuan untuk
meningkatkan penjaminan mutu pendidikan, pengembanga pembelajaran berkualitas,
dan inovasi. Semetara itu, prioritas nasional bidang kesehatan pada tahun 2018
terdapat tiga program prioritas yaitu Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak,
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit, dan Preventif Promotif (Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat).
Pada
dasarnya, dalam
kehidupan suatu bangsa, pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk
menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara sebab pendidikan adalah
wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumberdaya manusia.
Kendatinya pendidikan dilahirkan untuk memperbaiki segala kebobrokan yang sudah
menggumpal di segala sendi kehidupan bangsa ini. Pendidikan dimulai pada saat
anak sudah bisa melihat, mendengar, serta berbicara. Saat itu anak mulai
dididik dengan pola pendidikan alami dengan mencontoh apa yang mereka lihat dan
dengar. Pada tahapan yang lebih konkret, pendidikan kognitif aktif dimulai pada
masa pendidikan dasar atau pada rentang usia 6-12 tahun ketika anak berada di
lembaga pendidikan sekolah dasar (SD).

pada
objek-objek peristiwa nyata atau kongkrit. Dalam upaya memahami alam
sekitarnya mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari
panca indera, karena anak mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang
tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya (logikanya)[2].
Masalah pendidikan bertalian erat dengan masalah kesehatan
sebab wadah dan jenis kegiatan yang mengakomodir kedua sektor ini juga memiliki
keterkaitan. Dalam tujuan pembangunan nasional, anak merupakan
harapan untuk memajukan bangsa dan sekolah merupakan tempat ideal dalam
menciptakan kesadaran anak untuk menjaga kesehatannya karena sebagian waktu
anak dihabiskan di sekolah. Jadi, kolaborasi sektor pendidikan dan kesehatan
sejatinya menciptakan sebuah tatanan kesadaran kesehatan untuk anak sedini
mungkin, paling tidak dimulai ketika tahapan kognitif dan psikomotorik anak
sudah sampai pada fase penggunaan logika yang mumpuni di rentang usia sekolah
dasar (SD).
Mewujudkan Program
Pembangunan Prioritas Lewat Sekolah Dasar

layak. Pada jenjang sekolah dasar (SD), mengambil
data statistik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pusat Data dan
Statistik (Pusdadik) Kemdikbud pada medio 2017 di lapangan ternyata jumlah SD
yang memiliki kecukupan terhadap air bersih baru mencapai 84,51 % sisa 15,49%
SD bahkan belum meiliki akses air bersih. Sementara itu, jumlah SD yang
memiliki toilet berkisar 70,88% dan sisa
29,12% SD belum sama sekali memiliki toilet sebagai sarana sanitasi sekolah
yang wajib ada (Kemdikbud, 2017). Padahal, akses jamban, air bersih, dan tempat
cuci tangan merupakan tiga indikator pada Sustainable
Development Goals (SDGs) yang mesti dicapai pada 2030.
Program sanitasi sekolah merupakan bagian dari program Usaha Kesehatan Sekolah
(UKS). Pengelolaan UKS merupakan ranah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dan
Bappenas[3].
Sustainable
Development Goals (SDGs) yang harus dicapai pada tahun
2030 memiliki 15 indikator utama yang harus dipenuhi oleh negara-negara yang
bersama-sama meratifikasi arah kebijakan pembangunan milenial ini, yaitu; No
Poverty; Zero Hunger; Good Health and Well-Being; Quality Education; Gender
Equality; Clean Water and Sanitation; Affordable and Clean Energy; Decent Work
and Economic Growth; Indstry, Innovation, and Infrastructure; Reduce
Inequalities; Sustainable Cities and Communities; Resposible Consumption and
Production; Climate Action; Life Below Water; Life on Land Peace; Juctice and
Strong Institution; and Partnerships fo the Goals (UNDP, 2017).
Bidang Pendidikan dan
kesehatan yang dijadikan dua bidang prioritas nasional dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tahun 2018 tampaknya setali tiga uang dengan beberapa indikator
SDGs. Untuk bidang pendidikan pemerintah menghendaki untuk meningkatkan
kualitas pendidikan itu sendiri begitu juga dengan program SDGs yang
menginginkan adanya increase of quality education (peningkatan kualitas
pendidikan), untuk bidang kesehatan pemerintah menginginkan adanya peningkatan kesehatan Ibu dan anak, pencegahan dan penanggulangan
penyakit, dan preventif promotif (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) yang
diakomodir dalam SDGs poin ke 3 tentang kesehatan dan kesejahteraan dan poin ke 6 tentang air bersih dan sanitasi.
Sekolah
Dasar merupakan wadah yang tepat untuk dijadikan pionir untuk menerapkan
kolaborasi beberapa poin pembangunan dalam RKP 2018 dan SDGs 2030. Dalam data
pokok pedidikan (Dapodik) per Oktober 2017 jumlah sekolah dasar negeri maupun
swasta sebanyak 148.529 atau 68% dari keseluruhan jumlah semua jenjang sekolah
di Indonesia dengan jumlah siswa 25.307.472 jiwa atau sebanyak
56% dari seluruh anak usia sekolah 6-18 tahun. Dengan kata lain proporsi
sekolah dan siswa SD amatlah tinggi, dan jika Program Nasional Sekolah Bersih,
Higienis, dan Sehat (Pronasihat) diterapkan mulai dari jenjang SD, maka angka
ketercapaian pembangunan prioritas pemerintah yang tertuang dalam RKP 2018 akan
sangat meningkat signifikan begitu juga dengan ketercapaian program SDGs.
Sekolah Dasar bisa
menjadi tempat untuk membangun sistem sanitasi terpadu untuk mendukung
terciptanya tatanan masyarakat yang sehat sejak dini, pronasihat adalah salah
satu kegiatan promotif yang melibatkan seluruh sekolah dasar dan siswanya dalam
berbagai kegiatan preventif penyakit dan menjaga kebersihan, dengan itu maka
program pemerintah dalam bidang kesehatan yang menghendaki adanya gerakan
masyarakat hidup sehat melalui kegiatan preventif promotif dapat terealisasi
melalui sekolah dasar dan pada akhirnya siswa sekolah dasar akan dapat
meningkatkan taraf kualitas pendidikan dan pembelajaran dengan kondisi
kesehatan dan sanitasi sekolah yang baik.
Pronasihat dan Pengelolaan Sanitasi Berbasis
Multi-Stakeholder untuk mendukung PHBS
Anak-anak sekolah harus
ditanamkan Anak sekolah rentan terhadap masalah kesehatan dan juga berada pada
kondisi yang sangat peka terhadap stimulus sehingga mudah dibimbing, diarahkan
dan ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, termasuk kebiasaan untuk
berperilaku hidup bersih dan sehat. Pada umumnya anak-anak seusia ini juga
memiliki sifat selalu ingin menyampaikan apa yang diterima dan diketahuinya
dari orang lain, terutama pada anak usia 9 – 12 tahun yang dalam tingkatan
Sekolah Dasar (SD) biasanya pada kelas 4 – 6. Menurut Samatowo (2006) anak-anak
pada usia tersebut berada pada kelas tinggi, yang memiliki rasa ingin tahu,
ingin belajar dan minat terhadap sesuatu. Selain itu anak kelas tinggi ini
telah mulai mandiri dan memiliki rasa tanggung jawab pribadi serta telah menunjukkan
sikap kritis dan rasional. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrence Green dalam
Notoatmodjo (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku
adalah: faktor pendukung (Predisposing Factors) yaitu: sikap. Faktor
pemungkin (Enambling factors) adalah faktor yang memungkinkan atau yang
mefasilitasi perilaku atau tindakan antara lain umur dan pendidikan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa perilaku dalam PHBS ditentukan oleh sikap, umur dan
pendidikan
Sekolah
selain berfungsi sebagai tempat pembelajaran juga dapat menjadi ancaman
penularan penyakit jika tidak dikelola dengan baik. Lebih dari itu, usia
sekolah bagi anak juga merupakan masa rawan terserang berbagai penyakit oleh
karenanya PHBS menjadi sebuah kewajiban yang harus dijalankan di sekolah. PHBS adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau
menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat,
dengan membuka jalur komunikas, memberikan informasi dan edukasi untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku, sehingga membantu masyarakat
mengenali dan mengatasi masalah sendiri, dalam tatanan rumah tangga, agar dapat
menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rangka menjaga, memelihara, dan
meningkatkan kesehatan.

sehat, mengikuti kegiatan olah raga dan
aktivitas fisik di sekolah, memberantas jentik nyamuk, tidak merokok di
sekolah, menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan, serta
membuang sampah pada tempatnya (Depkes RI, 2007). Sistem sanitasi terpadu sekolah dasar
merupakan media untuk sekolah dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
kepada siswa dan pronasihat adalah program preventif promotifnya. Untuk
meningkatkan dan menguatkan kualitas pengelolaan sanitasi sekolah dasar
dibutuhkan kerjasama multi stakeholder.
Banyak pihak yang harus dilibatkan dalam pengelolaan sanitasi sekolah dasar
agar tercipta sekolah yang bersih, higienis, dan sehat.


baik
melalui poster, praktikum dan pengelolaan sanitasi sekolah. Poster tentang PHBS
dapat dipajang di manapun dalam lingkungan sekolah. Sedangkan praktikum dapat
dapat dilakukan melalui kegiatan rutin setiap minggu, seperti gosok gigi yang
benar, pemeriksaan kebersihan kuku dan rambut.
Pengelolaan
sanitasi sekolah dasar harusnya dilakukan oleh berbagai stakeholder pendidikan
dan nonpendidikan. Membentuk panitia Sekolah Sehat yang terdiri dari unsur
sekolah dan masyarakat merupakan sebuah keharusan sebagai bentuk kontrol
terhadap institusi pendidikan yang ada di Indonesia. Kepala sekolah dasar yang
mangkir dan tidak memenuhi syarat sekolah sehat harus dicopot dari jabatannya
seagai kepala sekolah yang tidak bisa memberikan layanan sanitasi terbaik bagi
siswa yang ada di sekolah. Selain itu pelibatan pihak swasta dan dinas
kesehatan juga merupakan sebuah keharusan sebab semua pihak harus berdiri sama
tegak dan berkontribusi yang sama untuk program nasional sekolah bersih,
higienis, dan sehat. Jika semua pihak berpadu melaksanakan program sekolah
bersih, higienis, dan sehat, maka secara otomatis akan meningkatkan penguatan
pengelolan sanitasi sekolah itu sendiri. Dengan kuatnya pengelolaan sanitasi di
sekolah maka akan meningkatkan tingkat kesehatan siswa yang secara otomatis
akan berdampak positif pada peningkatan kualitas pembelajaran.
*)
Penulis adalah Alumni Universitas Negeri Medan
Referensi:
Dep
Kes RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007. Jakarta: Kemenkes
RI
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Statistik
Sekolah Dasar (SD) 2016/2017. Jakarta: Pusat Data dan Statistik (Pusdadik)
Notoatmodjo,
Soekidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Samawoto,
Usman. 2006. Bagaimana Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar.
UNDP.
2017. Sustainable Development Goals booklet
[3] http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/17/09/22/owoldh438-sebanyak-35-persen-sd-tak-punya-sumber-air-bersih