Sunday, 25 January 2015

NASKAH PEMENANG JUARA LKTI KOTA MEDAN 2014: MEMANFAATKAN SAMPAH BARANG BEKAS SEBAGAI MEDIA TEKNOLOGI VERTIKULTUR UNTUK KOTA MEDAN BERSIH, HIJAU, ASRI, DAN SEHAT

cara download : Copy URL di bawah ini lalu paste di tab baru dan Download :)

https://drive.google.com/file/d/0B1HKvmPXbAWQNnRYZ3NpdnA0SkE/view?usp=sharing


atau link di bawah ini ;)


https://doc-0g-4c-docs.googleusercontent.com/docs/securesc/ha0ro937gcuc7l7deffksulhg5h7mbp1/tf0q1el7ib3avoacrc0k6jkhq8fnakr9/1422144000000/05559600110077725029/*/0B1HKvmPXbAWQNnRYZ3NpdnA0SkE?e=download

KETAPEL BIJI DAN KONSERVASI MULTI PARTISIPASI: ETNOEKOLOGI MODEL BARU UNTUK KONSERVASI HUTAN DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

Pendahuluan
Sumber gambar: NGC
 
Pernahkah kita menonton film  “The Day After Tomorrow”? atau pernahkah kita menonton sebuah film dokumenter bertajuk “Six Degrees Could Change The World?” film yang pernah diputar di National Geographic Channel ini menggambarkan bagaimana dahsyatnya kepunahan makhluk hidup di planet bumi termasuk manusia jika sampai pemanasan global terus meningkat seiring terjadinya perubahan iklim secara global. Perilaku buruk manusia dalam mengelola lingkungan dan menjaga ekosistem adalah penyebab kehancuran yang terjadi di-
muka bumi. Kisah fiksi ilmiah yang disajikan dalam film-film Hollywood tersebut bukan tidak mungkin dapat menjadi kenyataan. Bukan tanpa dasar dan bukti ilmiah untuk dapat membuktikan kalau peristiwa pada kisah-kisah tersebut dapat menjadi nyata jika melihat kondisi manusia sekarang yang masih memposisikan lingkungan hidup sebagai prioritas nomor sekian setelah prioritas gaya hidup yang “destruktif”. Selain dampak klimatis (perubahan iklim) yang ditimbulkan akibat dari “pemerkosaan” hutan dan lahan hutan secara brutal, dampak yang tak kalah mengancam eksistensi kehidupan manusia adalah menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya air akibat laju deforestasi yang sudah sampai pada tahap gangguan serius terhadap sistem keseimbangan tata air (hidrologis). Penggundulan hutan (deforestasi) dan penurunan fungsi (degradasi) hutan yang tak terkendali mengakibatkan penurunan fungsi daya dukung ekologi hutan sebagai wilayah resapan air yang menjaga stabilitas ketersediaan air di wilayah sekitar daerah aliran sungai (DAS)
Prof. Irwan (2007) mendeskripsikan bahwa manusia selalu berusaha mengubah lingkungan untuk memperoleh keperluannya. Kadang-kadang dalam kegiatan demikian manusia seolah-olah mengganggu, dan bahkan dapat merusak komponen-komponen biotik. Manusia adalah heterotrop dan phagotrop yang tumbuh dengan subur dekat penghujung rantai-rantai makanan yang kompleks. Di Indonesia, aspek ekosistem kehutanan dan kebutuhan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) cenderung diabaikan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan kewilayahan, sehingga kebijakan pengelolaan lingkungan menjadi tidak terintegrasi. Kegiatan penambangan, pembukaan jalan, pembalakan liar, perburuan satwa liar yang dilindungi, dan lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan menjadi persoalan klasik yang terus berulang terjadi di negara ini. Praktis dampak perubahan iklim dan kerusakan lahan yang ditimbulkan akan sampai pada tahap kritis.
Masalah kehutanan dan implikasinya terhadap kondisi kelestarian sumberdaya air dalam hal ini daerah aliran sungai (DAS), seyogyanya mendapat perhatian yang lebih sebab keberadaannya yang sangat vital untuk mendukung kehidupan di muka bumi terutama manusia. Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). Oleh karena hutan dan sumberdaya air pada DAS adalah komponen yang sangat penting dalam mendukung eksistensi kehidupan manusia, maka harus ada penanganan dan beberapa aksi nyata yang sesegera mungkin dilakukan untuk memperbaiki kondisi kerusakan agar secara perlahan dapat memberikan dampak yang baik bagi keberlangsungan kehidupan ekosistem yang menunjang kehidupan manusia. Selain itu, harus ada langkah-langkah untuk membuat lahan lebih resisten terhadap dampak perubahan.
Untaian Mutiara Hijau Indonesia, Riwayat dan DAS-mu Kini
Sebagai negara dengan iklim tropis, Indonesia memiliki hamparan hutan-hutan yang sangat luas dengan pepohonan dan berbagai macam vegetasi yang hidup di dalamnya. Untaian-untaian hutan Indonesia yang sambung-menyambung bak mutiara hijau yang membentang dari timur ke barat. Bak mutiara hijau, ia memberikan nilai yang sangat berharga bagi kehidupan manusia dan makhluk lain yang ada di Indonesia. Indonesia mempunyai kekayaan alam berupa hutan tropis yang sangat luas dan menempati urutan nomor tiga dari segi luasan setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Hutan tropis ini merupakan hutan yang unik dan memiliki biodiversitas yang sangat tinggi (Kusmana dkk). Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam Hutan Hujan Tropis, yang merupakan masyarakat hutan yang kompleks, terdapat pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Pohon-pohon kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi merupakan suatu koleksi yang mahal dan mempunyai potensi genetik yang besar pula. Hutan merupakan ekosistem yang memiliki banyak fungsi bagi lingkungan dan makhluk hidup sekitarnya. Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem. Pemanfaatan ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fungsinya. Pengelolaan hutan yang hanya mempertimbangkan salah satu fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan (Soemarmo, 2010).
Hutan tropis Indonesia adalah rumah dan persembunyian terakhir bagi kekayaan dunia hayati yang unik. Kenekaragaman hayati yang terandung di hutan Indonesia meliputi 12% spesies mamalia dunia, 7,3% spesies reptil dan amphibi, serta 17% spesies burung dari seluruh dunia. Diyakini oleh WWF masih banyak lagi spesies yang belum teridentifiasi di hutan tropis Indonesia. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi tertinggi sebagai negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati didunia menurut data yang dirilis FAO pada tahun 2010 (wwf.or.id).
Sayangnya, kerusakan hutan di tanah air cukup memprihatinkan. Untaian mutiara hijau-
yang dulu sambung-menyambung sekarang sudah terfragmentasi dan tercerai-berai serta tengah menghadapi tekanan yang berat. Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, setidaknya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah habis ditebang. Masalah utama yang mengancam eksistensi hutan di Indonesia adalah penebangan liar,
alihfungsi lahan, kebakaran hutan, eksploitasi yang berlebihan, dan pemanfaatan yang tidak lestari. Untaian mutiara hijau Indonesia sekarang bak perawan di sarang penyamun, ia begitu “seksi” bagi sebagian besar manusia yang selalu berusaha memenuhi “syahwat ekonomi” tanpa memperhatikan keberlanjutan dan kelestarian kawasan hutan dan daerah aliran sungai sebagai penstabil cuaca dan iklim. Disamping itu, masalah dalam kerusakan hutan adalah minimnya kegiatan positif yang dilakukan oleh para pelintas jalan untuk menghijaukan kembali lahan yang sudah rusak, minimnya pembaharuan pada sistem etnisitas untuk merehabilitasi hutan yang mulai menurun kualitas dan kuantitasnya.
Sebagai sebuah ekosistem yang memiliki tutupan vegetasi beraneka ragam, hutan tidak hanya berfungsi sebagai arbsorber polusi udara, lebih dari itu keragaman vegetasi hutan berfungsi  sebagai pengatur tata air pada sebuah ekosistem hidrologi yang dinamakan dengan kawasan daerah aliran sungai (DAS). Tingkat kerusakan yang terjadi pada hutan sebagai tutupan vegetasi alami akan berdampak pada kerusakan sistem tata air di daerah aliran sungai itu sendiri. Siregar (2009) menyatakan keberlanjutan sistem hidrologi yang menopang kehidupan manusia sangat bergantung pada kelestarian tutupan vegetasi pada sub daerah aliran sungai (sub DAS), ketidakarifan dalam pengelolaan sub DAS akan berbuah bencana yang merugikan manusia.
Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun. Sedangkan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun (Kementerian Kehutanan, 2009).
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan bagian tak terpisahkan dari ekosistem hutan. Ancaman terhadap DAS yang ditandai dengan kerusakan tutupan vegetasi (daya dukung hutan) praktis akan mengancam sistem hidrologi (tata guna air) yang dibutuhkan masyarakat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Karena itulah DAS selalu menjadi sasaran kunci dari setiap kegiatan konservasi. DAS umumnya terdiri dari beberapa sistem sub DAS  yang menggambarkan sebuah kawasan daerah tangkapan air dari suatu jaringan sungai. Keberadaan sebuah sub DAS sangat penting bagi manusia maupun kehidupan liar yang mendiami ekosistem hutan alami, terutama menyangkut penyediaan air. Minimnya pengetahuan dan minimnya partisipasi terhadap perbaikan hutan sebagai penyedia tutupan vegetasi memberikan akses kerusakan terhadap DAS. Kesalahkelolaan DAS akibat kesalahkelolaan hutan berefek langsung pada ketidakmampuan sungai menampung air yang berasal dari tingginya curah hujan saat musim penghujan datang, sementara pada musim kemarau malah sungai tak mampu menyuplai ketersediaan air karena kekeringan. Sebuah kondisi ironis dari negara yang dulu berperan sebagai paru-paru dunia, kini menghadapi peliknya masalah deforestasi dan degradasi lahan serta kemunduran kualitas dan kuantitas daerah aliran sungai (DAS).
Ketapel Biji: Model Etnoekologi “Reboisasi ala Rangkong” untuk Hutan dan DAS
Dalam mengatasi kerusakan lahan hutan dan daerah aliran sungai dewasa ini, banyak sekali solusi yang ditawarkan guna meminimalisir dampak sistemik yang akan ditimbulkan oleh kesalahkelolaan lahan hutan dan DAS di Indonesia. Manusia hidup di dunia ini akan melakukan interaksi dengan alam secara kompleks dan rumit. Kompleksitas hubungan antara manusia dengan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari unsur biotik dan abiotik yang mempengaruhinya. Meski zaman telah berubah sebagai bentuk modernisasi kebudayaan, namun pada era ini solusi yang bersifat etnisitas dan kekhasan daerah masih memiliki posisi tawar yang tinggi guna menekan terjadinya kerusakan yang menjadi-jadi di kawasan hutan dan daerah aliran sungai.
Dalam dunia fauna Indonesia, hewan rangkong atau enggang pastilah sudah sangat familiar di telinga masyarakat. Manusia harus berterima kasih pada salah satu spesies burung eksotis yang hidup di beberapa kawasan hutan hujan tropis Indonesia ini. Pasalnya ia adalah jenis    spesies burung yang handal dalam menjelajah dan menyebarkan biji.
Diantara burung penyebar biji, burung berbadan besar dengan paruh yang besar ini adalah spesies burung penyebar biji paling efektif, karena mampu menyebarkan biji-biji berukuran besar dengan daerah jelajah yang jauhnya mencapai puluhan kilometer. Bayangkan jika jasa lingkungan ini dilakukan oleh manusia? Berapa luas lahan yang dapat diperbaiki secara alami tanpa harus merusak tatanan kawasan ekosistem yang ada di dalamnya.
Meningkatnya kuantitas penduduk Indonesia sebagai bonus demografi praktis akan membuat tingkat kebutuhan semakin meningkat, akses terhadap peningkatan kebutuhan tersebut secara otomatis akan memberikan tekanan terhadap kebutuhan lahan yang secara langsung maupun tak langsung akan menggeser sedikit demi sedikit keberadaan hutan dan eksistensi ekosistem sekitarnya. Namun, sebagai suatu kesatuan masyarakat yang terbentuk dari tatanan nilai agama dan norma adat istiadat yang berlaku, setidaknya memiliki andil dalam menentukan arah bertindak positif dan konstruktif bagi perbaikan lingkungan dalam sistem yang dikenal sebagai etnoekologi, keterkaitan ciri khas adat istiadat suatu masyarakat akan memiliki dampak positif terhadap eksistensi ekologi yang ada di sekitarnya.
Lantas, bagaimana keterkaitan yang ada antara ketapel biji dan rangkong/enggang? mengapa model yang dipakai adalah “ketapel biji”?. Dalam tatanan adat dan kebiasaan serta perkembangan tradisionalisme kebangsaan, ketapel merupakan alat bermain sederhana yang digunakan oleh masyarakat lintas generasi untuk melontarkan sebuah “peluru” ke segala penjuru arah. Jika media ini dipakai untuk memberikan jasa lingkungan seperti yang dilakukan oleh burung rangkong/enggang maka akan dapat dibayangkan berapa banyak biji yang akan berkembang dan tumbuh sebagai pohon-pohon yang berfungsi sebagai tutupan vegetasi yang menjaga kestabilan tata  air di kawasan daerah aliran sungai (DAS).
Etnoekologi sebagai ilmu yang menjembatani antara kepentingan manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan ekologi sebagai wadah ekosistem yang menaungi kehidupan sudah seyogyanya mengalami elaborasi nilai yang lebih dinamis meskipun masih bersifat tradisional karena pada hakikatnya sistem dan cara-cara yang tradisional terkadang menjadi sarana yang paling ampuh untuk memperbaiki kondisi yang telah rusak. Minimnya perhatian terhadap kerusakan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) hendaknya diatasi dengan cara-cara yang sifatnya masih melestarikan adat dan budaya nasional yang mencirikan identitas nasional. Ketapel adalah alat yang sangat mudah dipakai dan sangat familiar bagi seluruh lapisan usia, disamping melestarikan nilai budaya bangsa dan permainan nasional, ketapel dalam era ini juga dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan konservasi wilayah hutan.
Pada wilayah-wilayah ekowisata (ecotourism area) biasanya pengunjung hanya disajikan indahnya kawasan hutan-hutan di Indonesia, namun tidak disuguhkan bagaimana rusaknya  hutan tersebut. Seharusnya keberadaan para wisatawan tidak hanya sebagai penikmat alam, namun juga dijadikan sebagai objek pelestari dengan cara menyediakan ketapel dengan peluru biji (biji durian, cempedak, nangka, karet, dan sebagainya). Pos ketapel biji pada setiap satuan kawasan hutan harus dibuat, meski dengan cara sederhana, setidaknya memiliki kontribusi positif terhadap pelestarian kawasan hutan dan DAS. Dengan melontarkan biji-biji tersebut ke wilayah yang membutuhkan reboisasi, maka akan membantu proses reboisasi pada lahan yang kritis. Dalam jangka waktu beberapa bulan atau tahun, biji yang dilontarkan tersebut akan tumbuh menjadi benih pohon baru dan akan membentuk tutupan vegetasi baru yang berfungsi sebagai penghijau dan pengendali daerah resapan air. Sama halnya seperti apa yang dilakukan oleh burung rangkong/enggang yang menyebarkan biji ke wilayah hutan, manusia juga dapat memberikan jasa lingkungan yang sama dengan metode dan media yang berbeda. Aplikasi etnoekologi model baru ini patut diterapkan di seluruh penjuru nusantara, agar wilayah hutan yang menjadi penyangga sistem tata air pada daerah aliran sungai (DAS) dapat terjaga dengan baik dan mempu memberikan fungsi terbaik bagi kehidupan manusia dan lingkungan hidup di Indonesia. Mari kita budayakan ketapel biji untuk kegiatan konservasi.
Konservasi Multi Partisipasi dalam Pendekatan Pendidikan
Kegiatan konservasi pada dasarnya bukan hanya domain pemerintah atau domain segelintir orang yang peduli pada kawasan hutan sebagai penyangga ketersediaan air di daerah aliran sungai. Kegiatan konservasi pada dasarnya harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat karena jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan ataupun jasa langsung yang diberikan oleh daerah aliran sungai dalam menyuplai ketersediaan air bagi kehidupan hakikatnya dinikmati oleh seluruh penduduk Indonesia. Oleh karenanya masalah konservasi bukan hanya masalah sepihak namun masalah bersama. Sistem agama dan adat harus diperkuat untuk mendukung kegiatan konservasi sebagai ujung tombak pelestarian kawasan hutan dan daerah aliran sungai guna menjaga kelestarian sumberdaya di masa yang akan datang untuk generasi mendatang.
Memperkuat sistem etnoekologi melalui aplikasi nyata dalam tindakan konservasi praktis akan membutuhkan kerjasama seluruh pihak. Dalam hal ini masyarakat adat dan pemerintah beserta pihak swasta harus melakukan konservasi terintegrasi guna mengakselerasi perbaikan kawasan DAS dan hutan. Pemerintah sebagai pihak yang memfasilitasi harus mampu mengarahkan masyarakat agar menggunakan kearifan lokal (local wisdom) dalam menanggulangi masalah kerusakan hutan dan DAS. Selain itu, memfasilitasi terbentuknya laskar konservasi melalui pendekatan pendidikan harus sesegera mungkin diaplikasikan agar terbentuk sumberdaya manusia yang peduli terhadap eksistensi kawasan yang terancam.
Menanamkan rasa cinta konservasi merupakan pendekatan yang harus dilakukan dengan cepat, salah satu pendekatan yang sangat baik adalah melalui pendidikan. Penanaman rasa cinta konservasi harus ditanamkan kepada generasi penerus bangsa. Dalam hal ini harus ada kerjasama inter-institusi antara Kementerian Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diaplikasikan ke daerah-daerah di tanah air. Pelaksanaan pada tingkat sekolah dengan tenaga pendidik yang berwawasan konservasi dapat membentuk tim konservasi sekolah dan menanamkan rasa cinta konservasi sejak dini.
Kerjasama Multi Partisipasi dan Inter-institusi Pemerintah dalam Mengaplikasikan Pendidikan Cinta Konservasi
 


                                                                                                            
                                                           







                                             
                                                                       PELATIHAN


Kerangka kerja pembentukan tenaga pendidik berwawasan konservasi untuk penerapan di sekolah Indonesia (Oleh Muhammad Akbar).
Jika seluruh kegiatan pelestarian dan konservasi dengan perwujudan etnoekologi model baru ini dapat berjalan dengan baik seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bukan hal yang mustahil jika dalam waktu beberapa tahun mendatang etnoekologi yang diwujudkan dalam aplikasi sederhana ini akan membudaya. Jika ini dibudayakan, maka jasa lingkungan yang diberikan akan sangat besar dan berharga bagi konservasi lahan hutan dan DAS yang lebih resisten terhadap perubahan. Disamping itu, hukum juga tetap menjadi senjata ampuh  untuk memberikan efek jera terhadap oknum-oknum yang merusak tatanan kelestarian ekosistem hutan beserta daerah aliran sungainya, baik itu penegakan hukum agama, negara dan hukum adat.
Penutup
Sebagai wilayah dengan kepemilikan hutan nomor 3 terluas di dunia, secara langsung akan memberikan dampak positif termasuk dalam ketersediaan sumberdaya air dari kawasan daerah aliran sungai yang ada di wilayah ekosistem hutan. Namun, bonus demografi yang besar mengakibatkan tekanan terhadap ekosistem semakin tinggi sehingga membuat laju deforestasi juga semakin tinggi. Praktis hal ini akan mengganggu keseimbangan tatanan air yang ada pada wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang terkonsentrasi penyerapannya di wilayah ekosistem hutan. Salah satu solusi yang ditawarkan guna meminimalisir kerusakan hutan yang menjadi penyangga kawasan resapan air pada daerah aliran sungai (DAS) adalah dengan pengembangan etnoekologi model baru, yakni “ketapel biji” dan konservasi multi partisipasi dengan pendekatan pendidikan. Metode ketapel biji adalah sebuah metode mempertahankan salah satu permainan tradisional secara nasional dengan penggunaannya yang lebih mengarah ke jasa lingkungan, yakni melontarkan biji seperti durian, nangka, cempedak, dan karet untuk reboisasi seperti penyebaran biji yang dilakukan oleh spesies rangkong/enggang. Sementara konservasi multipartisipasi adalah model konservasi yang mewajibkan seluruh elemen terlibat dalam perbaikan kawasan hutan dan DAS secara bersama. Kemudian pendekatan pendidikan dilakukan untuk menanaman cinta konservasi sejak dini sebagai bekal konservasi dan membentuk laskar konservasi yang bertanggungjawab dalam pelestarian kawasan ekosistem di Indonesia kelak. 

Daftar Pustaka
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia, Amanah Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008 Tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009. Jakarta: Gedung Manggala Wanabhakti.
Irwan, Zoer’aini Djamal. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi: Ekosistem, Lingkungan, dan Pelestariannya. Jakarta: Bumi Aksara.
Kusmana, dkk. 2010. Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan daam Pemulihan Kualitas Lingkungan. Medan: Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dan Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian USU.
Siregar, Abadi, dkk. 2009. Hutan Batang Toru Blok Barat: Serpihan Mutiara Hijau di Bumi Sumatera. OSCP dan USAID Indonesia: Konsorsium Pusaka Indonesia.
Soemarmo, 2010. Analisis Risiko Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2007 Tentang Sumberdaya Air.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

___________________________________________________________________________
*)Penulis adalah Guru Pada Program Sarjana Mendidik Di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) Angkatan III, penduduk Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

 SEMINAR DAN SOSIALISASI BUDAYA POSITIF DI SMAN 1 TAMIANG HULU oleh: Muhammad Akbar Sekolah merupakan ruang untuk mempertemukan berbagai jen...